Harga bahan bakar minyak naik berlipat-lipat di kepulauan, termasuk di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, yang sedang saya kunjungi. Bahkan sebelum kenaikan terakhir, harga bensin di sini sudah lebih tinggi dari harga di daratan besar.
Harga hampir semua barang lebih mahal di pulau-pulau Indonesia timur karena buruk atau minimnya transportasi. Angkutan barang ke pulau-pulau dilakukan dengan perahu, yang umumnya berukuran kecil. Bahkan, saat laut mengganas, pasokan barang ke pulau-pulau pun terhenti.
Pulau-pulau kecil, yang jumlahnya belasan ribu di seluruh Indonesia, menghadapi dua pukulan sekaligus ketika harga bahan bakar naik. Daya beli mereka terhadap energi menurun. Namun, lebih dari itu, daya beli berbagai barang kebutuhan pokok, termasuk pangan juga naik.
Ini sebagian menjelaskan mengapa ketimpangan ekonomi Indonesia kian parah, bersama kenaikan harga bahan bakar yang bertubi-tubi. Ketimpangan terjadi baik antarkelompok pendapatan, maupun antardaerah. Indeks Gini kita, angka yang mengukur ketimpangan, kini mencapai angka tertinggi dalam sejarah.
Perbaikan sistem transportasi, khususnya laut, sangat penting untuk mengurangi ketimpangan itu. Namun, bahkan jika sistemnya baik, pulau-pulau kecil tetap tak bisa bergantung pada daratan besar. Kita tak mungkin membuat jaringan listrik terpadu yang menyatukan seluruh pulau, misalnya. Juga pasokan pangan pokok.
Tantangan bagi negeri kepulauan seperti Indonesia tak hanya menjawab problem ketahanan energi dan pangan nasional, tapi juga ketahanan di tiap-tiap pulau. Ini membawa paradigma pembangunan yang berbeda.
Pulau-pulau kecil harus mandiri, baik secara energi maupun pangan. Itu menuntut mereka memiliki sumber energi dan pangan lokal. Apakah itu mungkin?
Tidak semua pulau, terutama pulau kecil, memiliki sumber bahan bakar fosil yang murah, seperti minyak atau batu bara. Namun, mereka sebenarnya memiliki sumber bahan bakar alternatif yang kaya. Salah satunya: biomas.
Biomas yang paling terkenal adalah kayu bakar dan sebenarnya telah secara tradisional dipakai masyarakat pedesaan secara turun-temurun. Sekitar 30 persen warga Indonesia masih mengandalkan kayu bakar sebagai sumber energi. Dengan sedikit masukan teknologi sederhana, biomas bisa diubah menjadi energi listrik.
Sumber lain adalah bahan bakar nabati. Pulau-pulau kita, seperti Pulau Selayar, kaya pohon kelapa. Daging buah kelapa bisa pula diubah menjadi biodiesel untuk dipakai menjalankan perahu nelayan.
Namun, sumber energi paling potensial di kepulauan adalah spesies tertentu ganggang (microalgae). Menurut beberapa penelitian mutakhir, ganggang ini bisa menghasilkan biodiesel lebih banyak ketimbang kelapa sawit untuk setiap satuan luas. Lebih hebat dari sawit, ganggang ini bisa dibudidayakan di pesisir dan laut, sehingga tidak memakan lahan pertanian atau merusak hutan.
Yang diperlukan ganggang ini adalah sinar matahari, gas asam arang (CO2), dan nutrien laut. Ganggang ini bisa tumbuh di air limbah, menyerap gas asam arang, sekaligus memurnikan air. Dari sudut pandang lingkungan, budi daya ini pilihan yang ideal: menghasilkan energi hijau, memurnikan air, menyerap gas asam arang, dan tidak bersaing dengan lahan pertanian pangan.
Sayang, di Indonesia, penelitian tentang energi terbarukan ini masih sangat sedikit. Percobaan membudidayakannya juga baru dilakukan satu-dua universitas. Kita memerlukan lebih banyak riset tentang hal ini untuk mengembangkannya lebih luas di pulau-pulau.
Meski harga per satuan liter relatif mahal, bahan bakar dari ganggang ini cocok untuk pulau-pulau kecil, tempat bahan bakar bensin dan solar sudah cukup mahal karena buruknya transportasi.
Salah satu kuncinya adalah bagaimana agar budi daya dan proses mengubah ganggang kering menjadi berbagai bentuk energi, termasuk listrik, bisa dilakukan dengan mudah. Teknologinya harus cukup sederhana dan murah bagi nelayan dan petani di pulau-pulau.
Bahkan jika ganggang tak bisa ditumbuhkan, pulau kecil terkadang memiliki sungai sebagai sumber energi mikro-hidro. Sungai di pulau kecil umumnya kecil juga, dengan debit air yang kurang memadai. Namun, kini ada teknologi baru, dan sederhana, yang memungkinkan kita membuat generator dengan aliran sungai kecil. Teknologi vortex, pusaran air, memungkinkan sungai kecil yang landai memutar turbin untuk menghasilkan energi listrik.
Masyarakat belasan ribu pulau kecil, seperti Selayar, tak mungkin menyandarkan harapan pada daratan besar. Tugas pemerintah adalah membantu mereka mandiri, secara pangan atau energi, lewat pemanfaatan ilmu dan teknologi sederhana.***
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar