Basuki Tjahaja Purnama dipuji banyak orang setelah menyatakan mundur dari Partai Gerakan Indonesia Raya. Basuki, atau Ahok, mundur karena tak sependapat dengan upaya Gerindra dan Koalisi Merah Putih menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung.
Ahok mengatakan, pemilihan bupati tak langsung lewat dewan perwakilan rakyat daerah hanya menyuburkan korupsi dan menjadikan kepala daerah sapi perah partai-partai politik.
Ada argumen berbeda. Munculnya Ahok, juga Joko Widodo (kini presiden), Tri Rismaharini (Surabaya), dan Ridwan Kamil (Bandung) memang disebut-sebut sebagai berkah pemilihan langsung. Namun, Koalisi Merah Putih menunjukkan: nama-nama tersebut adalah pengecualian. Faktanya, kata mereka, sebagian besar kepala daerah justru terlibat korupsi.
Bagaimanapun, dukungan luas terhadap Ahok, dan kentalnya antipati terhadap Koalisi Prabowo, sesungguhnya mencerminkan ketidakpercayaan yang luas dan mendalam terhadap semua partai politik, termasuk partai dalam Koalisi Jokowi.
Itu ironis. Nama-nama yang sudah disebut itu, termasuk Ahok, dicalonkan oleh partai politik sebelum dipilih langsung oleh publik. Artinya, ada jasa besar Gerindra dan PDI Perjuangan dalam memunculkan mereka.
Polarisasi simplistis —langsung versus tak langsung, partai versus non-partai— tidak membantu kita melihat masalah lebih jernih. Kedua kubu bisa sama-sama keliru jika hanya memperdebatkan cabang atau ranting, yakni tata cara pemilihan, ketimbang pokok pohon: bangunan demokrasi dan kepartaian kita.
Partai politik adalah elemen penting dalam demokrasi. Bahkan pemilihan langsung membutuhkan partai yang kuat dan bagus. Tanpa mesin partai yang bekerja baik, biaya kampanye menjadi terlalu mahal. Korupsi dan praktik politik uang kian merajalela.
Cara mana pun yang mau dipakai, pemilihan langsung atau lewat parlemen, menuntut perombakan sistem kepartaian yang telah memicu rendahnya kepercayaan publik pada partai dan parlemen sekarang ini.
Partai di Indonesia, menurut kajian ilmuwan politik Andreas Ufen, sedang mengikuti tren negatif Filipina. Sama-sama lepas dari kediktatoran, Ferdinand Marcos dan Soeharto, kedua negeri terjebak dalam liberalisasi politik superfisial, yang gaduh tapi minim partisipasi.
Indonesia setelah rezim Soeharto dicirikan oleh kemunculan “partai presidensial”, partai yang dibentuk atau dimobilisasi sekadar untuk memenangkan kandidat presiden. Hanura dan Gerindra contoh paling nyata. Namun, itu juga berlaku untuk partai lama seperti Golkar dan PDI Perjuangan.
Partai-partai itu bersifat tersentral dan dikendalikan oleh kepemimpinan otoriter sehingga memicu faksionalisme internal. Pada saat yang sama, banyaknya partai dan sistem pemilihan yang rumit mengharuskan mereka membentuk koalisi-koalisi pragmatis yang rapuh.
Sebagian besar partai tidak aktif, kecuali pada musim pemilihan umum. Keanggotaan resmi partai sangat rendah. Organisasinya lemah. Kesetiaan pada partai sangat longgar, baik di kalangan pemilih maupun politikusnya.
Kajian The International Foundation for Election Systems menunjukkan sekitar 82% pemilih Golkar pada pemilu legislatif 2004 memilih calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan Megawati Soekarnoputri yang resmi didukung partai itu.
Lihat pula pada mudahnya politikus berganti-ganti partai. Ahok, misalnya, memulai karier di Partai Perhimpunan Indonesia Baru untuk jabatan anggota parlemen daerah; lalu berkoalisi dengan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan untuk meraih jabatan bupati; menjadi anggota Golkar untuk posisi parlemen pusat; dan pindah ke Gerindra untuk jabatan wakil gubernur Jakarta.
Itu karena kandidat, bukan partai serta program-programnya, yang menjadi fokus pemilihan setiap lima tahun sekali. Partai kehilangan ideologi atau tujuan besar dan mulia dari pembentukannya.
Didominasi terutama oleh motif keuntungan material, partai mencari uang dari anggota parlemen, calon bupati, ataupun cukong. Di parlemen, partai-partai ini melayani kepentingan anggota parlemen yang mencari akses mudah kepada sumber uang negara. Politik uang, kolusi, dan korupsi bukan berkurang.
Masalahnya, mungkinkah kita merombak radikal sistem kepartaian? Salah satu ciri kepartaian Filipina yang kita warisi adalah munculnya kartel politik. Meski berbeda-beda partai, para politikus cenderung berkomplot untuk menjaga status quo. Walhasil, reformasi politik fundamental menuntut tekad dan desakan yang lebih kuat dari rakyat. ***
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar