Jumat, 13 November 2015

Membedah Televisi Digital: Antara Potensi Teknis dan Kepentingan Politis (Bagian I)

Digitalisasi televisi di Indonesia adalah keniscayaan. Meski proyek ini menumbuhkan sejumlah harapan, ia masih menyisakan banyak catatan.

Bandung, 30 Januari 2010. Ratusan orang berkumpul di Aula Sasana Budaya Ganesha Sabuga, Institut Teknologi Bandung. Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informasi kala itu, tengah memberi ceramah tentang televisi digital. Kamera berayun dari kiri ke kanan, menunjukkan raut sumringah penonton.

Di tengah pidatonya, Tifatul mengisahkan sebuah analogi ganjil pada ibu-ibu yang hadir. Menurut Tifatul, dengan mengadopsi teknologi televisi digital, kita seperti tidak perlu repot melahirkan anak dan merawatnya hingga dewasa. Dengan televisi digital, kita seperti langsung melahirkan orang dewasa. Pidato itu dijawab dengan gegap gempita dan tepuk tangan meriah.

Jika pidato tersebut bisa dijadikan indikator pemahaman para pembuat kebijakan pada masa itu mengenai televisi digital, maka kita perlu mengkhawatirkan masa depan pengembangan teknologi ini.

***

Dalam penjelasan yang paling sederhana, digitalisasi penyiaran dapat dijelaskan sebagai proses pengalihan dan kompresi sinyal analog menjadi kode biner. Teknologi ini menawarkan kemungkinan pengaturan frekuensi yang lebih efisien ketimbang teknologi analog. Artinya, penyiaran digital bisa menyediakan lebih banyak saluran dalam ruang yang sama ketimbang penyiaran analog (Dominick & Messere, 2012).

Efisiensi spektrum yang dimungkinkan oleh televisi digital bisa dimanfaatkan untuk berbagai inovasi. Salah satunya adalah memberikan ruang untuk menambah saluran dalam sebuah jangkauan spektrum. Kemampuan ini disebut multicasting, yakni penggunaan satu frekuensi, yang dalam sistem analog hanya mampu membawa satu program, untuk membawa beberapa siaran program sekaligus.

Tidak tanggung-tanggung, teknologi digital bisa menambah 12 kali lipat ruang frekuensi, bahkan lebih (tergantung dari standar televisi digital apa yang kita gunakan), dibanding analog. Oleh sejumlah negara pionir, teknologi digital dielu-elukan akan menciptakan revolusi dalam prinsip-prinsip dasar regulasi penyiaran di seluruh dunia dengan menghapuskan prinsip kelangkaan spektrum. Spanyol misalnya, dengan penerapan teknologi digital, berhasil menambah jumlah saluran dari 6 menjadi 29 (Fuertes & Schlosberg, 2011), sementara Perancis, dari 6 menjadi 23 (Badillo, 2012).

Teknologi ini membawa angin segar dalam infrastruktur penyiaran global. Penggunaannya diharapkan bisa memberi insentif dunia penyiaran sehingga, “Bisa menciptakan dividen serta dinamisme ekonomi pada sektor tersebut, sekaligus menghasilkan kerja-kerja kreatif, membuka spektrum pada pluralitas pemikiran yang lebih besar, memperkuat bahasa lokal dan keberagaman ekspresi kultural” (Garcia & Plata, 2013: 34).

Teknologi digital sebenarnya sudah muncul di Indonesia sejak awal tahun 1990an melalui TV satelit (Indovision) dan TV kabel (Telkomvision). Namun, teknologi ini masih asing bagi sebagian besar publik Indonesia. Indonesia adalah negara dengan lebih dari 250 juta penduduk, dan 90% dari jumlah itu adalah penonton televisi terestrial bebas biaya (free-to-air) (Yudono, 2013). Tak heran jika televisi digital baru memperoleh perhatian ketika pada tahun 2009 Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mengumumkan rencananya untuk mendigitalisasi sistem pertelevisian terestrial Indonesia (televisi terestrial digital—selanjutnya disebut sebagai “televisi digital”).

Sayangnya, masalah digitalisasi di Indonesia muncul dengan pola yang terus berulang: teknologi yang semestinya menjadi alat dalam menciptakan kemajuan, malah dilihat sebagai penanda utama kemajuan itu sendiri. Keunggulan teknologi baru dari teknologi lama dianggap tidak perlu dibuktikan lagi. Kemanjuran dan kesesuaian dengan kondisi serta prioritas lokal pun jarang diperiksa.

Serial artikel mengenai televisi digital ini akan terbagi menjadi tiga bagian. Artikel ini akan menginterogasi televisi digital dalam konteks ekonomi politik penyiaran Indonesia secara makro. Artikel kedua akan membahas kemungkinan-kemungkinan demokratisasi yang dibawa oleh teknologi ini, serta evaluasi regulasi yang telah diciptakan berdasarkan kemungkinan-kemungkinan ini. Artikel ketiga akan menempatkan perkembangan televisi digital dalam konteks persaingan teknologi global.

Menimbang Para Aktor: Negara dan Industri Pertelevisian Nasional


Dalam upaya penerapan teknologi ini di Indonesia, negara menjadi motor utama. Inilah yang membuatnya unik. Pada negara-negara pionir, inovasi ini justru dimotori dan dibiayai oleh industri. Digitalisasi penyiaran bisa jadi merupakan proyek teknologi terbesar yang dilakukan negara sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Terbesar dalam artian, bukan hanya memakan biaya besar, melainkan juga memerlukan pergantian sistem secara besar-besaran.

Dalam standar DVB-T2[1], standar yang tampaknya akan diterapkan di Indonesia, proses multicasting ini dilakukan melalui sistem multiplex (mux). Sistem ini mensyaratkan pemisahan antara penyedia (provider) penyiaran digital dari lembaga penyiaran (channel/saluran/stasiun televisi). Dengan kata lain, akan ada perusahaan yang hanya menekuni proses konversi tayangan menjadi sinyal digital serta menyiarkannya, dan ada pula perusahaan yang hanya memproduksi konten siaran. Sistem mux ini tentu akan mengubah praktik penyiaran kita secara radikal karena selama ini kedua proses tersebut dikelola oleh stasiun televisi.

Meski negara telah memulai proses digitalisasi dalam hal perencanaan dan regulasi, sumber dan proses pembiayaan migrasi proyek ini masih belum jelas. Biaya digitalisasi yang setinggi langit, ditambah ingatan buruk tentang campur tangan pemerintahan otoriter Orde Baru dalam sektor penyiaran, mengakibatkan perlunya keterlibatan sektor privat dalam proyek ini.

Pelibatan sektor privat ini tentu membawa kekhawatiran tersendiri. Dalam hal politik, televisi swasta bersiaran nasional (untuk memudahkan, selanjutnya disebut sebagai “televisi nasional”) juga punya rekam jejak buruk. Industri televisi nasional seringkali terlibat dalam sistem politik Indonesia, dan menjadi alat bagi aktor politik yang juga merupakan pemilik stasiun televisi.

Selain pertimbangan politik, televisi nasional rela berinvestasi dalam teknologi digital demi mempertahankan izin bersiaran serta pangsa pasar yang mereka miliki dalam industri pertelevisian. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri bagi struktur pasar pertelevisian Indonesia yang sudah carut marut. Sebelas stasiun televisi nasional serta puluhan stasiun televisi jaringan dan lokal, bersaing untuk membagi besaran kue iklan yang sudah stagnan. Stagnan dalam artian pertambahan belanja iklan sudah semakin tidak seimbang dengan jumlah stasiun televisi yang memperebutkan kue iklan tersebut. Dalam struktur pasar yang sudah melampaui titik jenuh ini--terutama bagi stasiun lokal, penerapan teknologi multicasting untuk menambah saluran justru berpotensi menghancurkan pasar yang melemah.

Sebelum sekelumit masalah ini selesai didiskusikan, Kemenkominfo di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring sudah meluncurkan beberapa iklan layanan masyarakat (ILM) untuk mempromosikan televisi digital. Iklan-iklan ini membicarakan masalah umum televisi analog; tentang gambar yang berbayang, noise akibat sinyal yang lemah, serta masalah-masalah lain yang berakibat pada buruknya kualitas gambar dan suara. Narasinya kemudian menunjukkan superioritas televisi digital, dengan kualitas gambar dan suara jernih high definition television (HDTV).

ILM ini reduktif dan bisa menyesatkan pemahaman publik, bahwa adopsi standar televisi digital akan serta merta menghasilkan kualitas visual HDTV. Sinyal digital memang bisa, tapi tidak niscaya, mempertajam resolusi gambar secara signifikan. Kualitas gambar HDTV di era digital hanya bisa dinikmati oleh publik Indonesia yang mampu membeli pesawat televisi HDTV. Sayangnya, sebagian besar penduduk Indonesia hanya akan menikmati siaran digital dengan menggunakan dekoder dan jenis televisi standard definition (SDTV). Artinya, manfaat tunggal televisi digital yang sudah dijanji-janjikan ini pun hanya akan dinikmati oleh segelintir masyarakat.

Selain itu, terdapat masalah yang inheren dalam teknologi digital itu sendiri. Sinyal digital memang memang lebih kuat secara intrinsik dibandingkan dengan sinyal analog. Namun, teknologi ini memiliki dua kelemahan.

Pertama, sebagai sebuah teknologi yang diciptakan untuk masyarakat perkotaan, jangkauan sinyal yang kuat ini mensyaratkan permukaan tanah yang relatif landai. Sinyal digital lemah dalam menghadapi bentang darat yang menantang, terutama jika terdapat halangan pandangan (baik berupa gunung maupun bangunan) di antara pemancar dan penerima sinyal. Hal ini tentu merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia yang merupakan area kepulauan dan memiliki kontur tanah yang sangat beragam.

Kedua, sinyal digital tidak mengenal gradasi kualitas. Televisi analog biasanya menghasilkan gambar yang "dikerubungi semut" dan suara yang "kemeresek" semakin jauh sebuah antena penerima dari menara pemancar. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, dalam era analog, masih bisa menerima siaran televisi, walaupun dalam kualitas “bersemut.” Televisi digital tidak akan mengalami hal ini. Apabila sinyal digital mengalami gangguan di suatu daerah, entah tertutup gunung atau berada di dataran yang lebih rendah/tinggi dari daerah pemancar, maka daerah tersebut bisa saja tidak menerima sinyal sama sekali.

Televisi Digital dan Kelangkaan Frekuensi

Sejak jatuhnya rezim otoriter Orde Baru, Indonesia berusaha melakukan desentralisasi sistem penyiaran melalui Sistem Siaran Jaringan (SSJ). Penerapan SSJ berarti bahwa perizinan siar diberlakukan hanya pada tingkatan daerah. Dengan demikian, tidak ada lagi siaran nasional. Televisi dan radio hanya boleh bersiaran secara lokal. Apabila sebuah stasiun ingin bersiaran di luar daerah siarnya, ia harus berafiliasi dengan stasiun lokal setempat, atau membangun televisi lokal sendiri di daerah tersebut. Sistem yang dimandatkan oleh Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 ini diharapkan dapat menumbuhkan otonomi dan ekonomi lokal.

Sayangnya, SSJ tak kunjung berjalan. Sistem yang sebenarnya berlaku hari ini adalah sistem yang memungkinkan sebuah stasiun penyiaran mengudara secara nasional tanpa berafiliasi dengan stasiun televisi lokal. Stasiun-stasiun tersebut cukup hanya membangun menara relay untuk bersiaran di luar daerah asalnya. Sistem ini dibangun oleh rezim Orde Baru untuk memudahkan kontrol negara terhadap industri pertelevisian. Melalui sistem ini, seluruh stasiun televisi berada di Jakarta dan dimiliki oleh orang-orang terdekat Soeharto (Armando, 2011). Industri pertelevisian pasca-Reformasi masih berjalan dengan sistem terpusat era Orde Baru, namun untuk tujuan yang berbeda. Bukan lagi untuk menguatkan kendali negara, melainkan untuk meneguhkan oligarki dalam dunia penyiaran.

Industri televisi lokal dan komunitas menerima dampak yang paling besar akibat sistem terpusat ini. Keduanya hampir tidak diberi ruang untuk hidup. Memang ada beberapa stasiun televisi lokal yang berdiri, namun stasiun-stasiun tersebut mati-matian untuk mendapatkan sedikit keuntungan.

Dalam berbagai diskusi kebijakan, masalah-masalah televisi lokal yang napasnya pendek ini kerap disederhanakan menjadi masalah kelangkaan frekuensi. Baik industri televisi swasta nasional maupun pembuat kebijakan berpendapat bahwa masalah ruang hidup televisi lokal yang diterjemahkan menjadi kelangkaan spektrum akan jadi tidak relevan ketika Indonesia melakukan digitalisasi (Setiawan, 2010; Remotivi, 2014). Televisi digital, jika dilihat hanya dalam perspektif kelangkaan frekuensi, akan mementahkan kewajiban untuk berjaringan sama sekali.

Apabila masalahnya hanya soal kelangkaan frekuensi, maka benar—digitalisasi adalah jawabannya. Pemilihan penyiaran multicasting yang didukung oleh teknologi digital, sebagaimana disebut di muka, memungkinkan bertambahnya jumlah saluran sedemikian rupa sehingga masalah kelangkaan teratasi.

Namun, masalah yang lebih mendasar tetap tidak terselesaikan yaitu permasalahan struktur penyiaran Indonesia sebagai sebuah sistem yang tidak memperhitungkan kelangsungan finansial industri penyiaran lokal, komunitas atau kelangsungan hidup pasar pertelevisian yang sehat.

Kalau dihitung-hitung, menerapkan multicasting dalam sistem penyiaran nasional-terpusat Indonesia justru akan berakibat fatal bagi stasiun lokal dan komunitas. Dalam sistem analog saja, industri pertelevisian di luar Jakarta sulit bertahan hidup. Yang masih beroperasi harus bertarung dengan industri penyiaran nasional untuk mendapat kue iklan yang semakin mengecil dengan bertambahnya kompetitor.

Pertarungan ini adalah pertarungan yang timpang, mengingat jangkauan siar stasiun lokal lebih kecil—pengiklan tentu lebih memilih menaruh iklan di stasiun televisi yang ditonton lebih banyak orang. Di Amerika Serikat sendiri, multicasting dilihat sebagai momok yang hanya akan “memecah audiens dalam fragmen yang lebih kecil dan dengan demikian mengurangi pendapatan iklan [stasiun lokal],” (Hart, 2010: 14) sambil tetap mempertahankan dominasi industri yang sudah besar dan mapan.

Dengan demikian, televisi digital bukan hanya menyediakan alasan (yang terkesan) apolitis untuk mengalihkan perhatian dari masalah-masalah struktural dan sistemik dalam dunia penyiaran. Namun, model penerapan TVD yang keliru juga mengayomi dan melanggengkan sistem terpusat tersebut (Setiawan, 2010; Remotivi, 2014). Dengan demikian, potensi demokratisasi teknologi digital akan terbuang sia-sia.

Potensi intrinsik teknis untuk demokratisasi ini memang mesti diiringi oleh kebijakan yang memungkinkan realisasinya. Dengan demikian, sebelum terburu-buru dalam membuat kebijakan, perlu terlebih dahulu mengisolasikan kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki teknologi digital. Kita akan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan ini pada tulisan kedua. []

-----

Daftar Pustaka

Armando, A. (2011). Televisi Jakarta di atas Indonesia: Kisah kegagalan sistem televisi berjaringan di Indonesia (Cet. 1. ed., Vol. 1). Yogyakarta: Bentang ;.
Badillo, A. (2012). ‘Francia: politización y concentración’, dalam L. Albornoz dan T. García Leiva (eds), La televisión digital terrestre. Experiencias nacionales y diversidad en Europa, América y Asia. Buenos Aires: La Crujía, pp.101–26.
Dominick, J., & Messere, F. (2012). Broadcasting, cable, the internet, and beyond: An introduction to modern electronic media (7th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Fuertes, M. and Marenghi, P. (2012). ‘España: multiplicación de señales, nuevos operadores y financiación incierta’, in L. Albornoz and T. García Leiva (eds), La televisión digital terrestre. Experiencias nacionales y diversidad en Europa, América y Asia. Buenos Aires: La Crujía, pp. 71–100.
Freedman, D. and Schlosberg, J. (2011). Mapping Digital Media: United Kingdom. London, UK: Open Society Foundation, http://www.opensocietyfoundations.org/reports/mapping-digital-media-united-kingdom.
García, R., & Plata, G. (2013). “Digital terrestrial television policies in Mexico: The telecom wars”. Dalam International Journal of Digital Televison, 4(1), 33-48.
Hart, J. (2010). “The Transition to Digital Television in the United States: The Endgame”. International Journal of Digital Televison, 1(1), 7-29. doi:10.1386/jdtv.1.1.7/1
Remotivi, Redaksi. (Interviewer) & Armando, A. (Interviewee). (2014). “Ade Armando: Pelaksanaan Televisi Berjaringan Membutuhkan Kemauan Politik Pemerintah” (naskah wawancara). http://remotivi.or.id/kabar-tv/pelaksanaan-televisi-berjaringan-membutuhkan-kemauan-politik-pemerintah
Setiawan, Denny. Alokasi Frekuensi: Kebijakan Dan Perencanaan Spektrum Indonesia. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2010. Print.
Yudono, J. (27 Agustus 2013). “Matikan Televisimu, Nak!”. Dari http://nasional.kompas.com/read/2013/08/27/1920381/Matikan.Televisimu.Nak.

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...