Keluhan Presiden Jokowi tentang tayangan televisi yang tidak sehat menohok industri pertelevisian. Lembaga rating pun tak luput dari sorotan.
Rating televisi selama ini hanya mengenai jumlah penonton televisi yang menonton tayangan tertentu. Ia tidak sampai menghitung kualitas sebuah tayangan yang diteliti. Hasilnya, seringkali angka rating yang tinggi tidak menunjukkan kualitas tayangan yang bersangkutan.
Sebaliknya, angka yang rendah tidak juga menunjukkan bahwa tayangan tersebut memiliki kualitas yang buruk. Karena itu wajar jika Presiden Jokowi mengeluhkan televisi yang hanya berfokus pada rating dan mengabaikan kualitas tayangan. Demikian salah satu bahasan yang didiskusikan dalam seminar nasional “Mencermati Rating Televisi” yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (11/9).
Salah satu pembicara dalam diskusi, Wishnutama Kusubandio, menyebut bahwa kehadiran rating, dengan segala kelemahannya, tetap diperlukan. “Rating itu currency, mata uang dalam bisnis televisi,” ujar CEO Net TV tersebut. Problemnya AC Nielsen, satu-satunya lembaga rating yang beroperasi di Indonesia, berjalan tanpa pengawasan. “Ketika terjadi kesalahan metodologi, siapa yang berhak ngasih tahu?” ungkap Wishnu. Ia juga menambahkan catatan tentang pemilihan panel atau klasifikasi penonton yang mestinya lebih realistis dan mendekati kenyataan.
Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Harmonis menyebut bahwa pemahaman rating selama ini hanya berkutat pada kuantitas penonton, dan ini bermasalah. “Presiden Jokowi galau karena pemahaman rating yang kuantitatif,” ujarnya. Padahal, penghitungan kuantitas hanya tahap awal saja untuk kemajuan tayangan televisi.
Setelah itu yang lebih penting adalah strategi untuk menghitung rating secara kualitatif yang bisa mengukur sejauh apa tayangan televisi berkualitas atau tidak. Karena itu, survei indeks kualitas program siaran televisi yang dilakukan ISKI bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa menjadi bentuk alternatif. Harmonis menyebut bahwa hasil survei tersebut memang tidak bisa dibandingkan dengan riset-riset yang dilakukan Nielsen karena memang berbeda metodologi.
Survei indeks kualitas program siaran televisi hasil kerja sama ISKI dan KPI telah dilakukan dua kali. Hasil survei pertama dirilis pada bulan Maret-April dan kedua dirilis pada Mei-Juni. Dua survei tersebut dilakukan bersama Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Kalijaga Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanuddin Makasar, Universitas Sumatera Utara Medan, Institut Agama Islam Negeri Ambon, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dan Universitas Udayana Denpasar. Berdasarkan kedua survey tersebut, KPI menyebutkan bahwa ada sedikit peningkatan indeks kualitas program siaran televisi.
Sementara itu, Agus Nurudin, Managing Director Nielsen Indonesia, mengakui bahwa riset yang dilakukan oleh lembaganya memang hanya mengukur kuantitas penonton. “Ibaratnya, Nielsen mengambil data tentang gambar apa yang dilihat oleh masyarakat. Tentang bagaimana dan seperti apa isi gambar tersebut, bukan concern Nielsen,” ujar Agus.
Ketika ditanya apakah lembaganya bisa mengukur rating tayangan televisi secara kualitatif, Agus menyebut bahwa mereka bisa saja melakukan hal itu. Namun, karena merupakan lembaga riset komersial, Nielsen hanya bisa melakukannya bila ada yang memesan. “Apabila Pemerintah menginginkan data itu, bisa kami penuhi,” ujarnya. (REMOTIVI/Wisnu Prasetya Utomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar