Jumat, 13 November 2015

Teknologi Digital dan Kebudayaan

Reduksi teknologi tak selalu berarti mengurangi, melainkan juga menambah keragaman ruang sosial.

Kehidupan, dalam era digital, tidak hanya terjadi dalam komunikasi dalam jaringan (daring, online). Aktivitas dalam dunia digital sendiri pun banyak dipengaruhi oleh hal-hal “yang bukan digital”. Terbit pada 2012, Buku Digital Anthropology hasil suntingan Heather A. Horst dan Daniel Miller ini berusaha mengurai silang sengkarut budaya manusia dengan teknologi baru ini.

Terdiri dari empat belas esai yang dikelompokkan sesuai tema, Digital Anthropology berusaha membongkar pembatas yang membedakan komunikasi daring dan luring (luar jaringan, offline). Digital Anthropology juga berusaha menyudahi perdebatan tentang ada atau tidaknya campur tangan manusia dalam dunia daring yang sangat teknologis (dan jawabannya: jelas ada!). Lebih lanjut lagi, Digital Anthropology berusaha meletakkan ulang posisi kajian antropologi digital di hadapan budaya, masyarakat, sistem daring, dan media.

Memposisikan “Yang Digital”


“Digital bukan persoalan daring,” tulis Boellstorff dalam esai “Rethinking Digital Anthropology”. Jika semua permasalahan digital hanya berkutat pada hal-hal daring, “maka seluruh disiplin antropologi saat ini adalah antropologi digital” (hal. 39). Pernyataan Boellstorff ini memaksa pembaca untuk memikirkan ulang tentang apa itu “yang digital”. Bila pembaca hanya memahami persoalan digital semata urusan terkait internet, maka ia tidak akan mampu memahami secara menyeluruh masalah digital.

Buku ini menggunakan makna paling harafiah dari istilah “digital” dan, dengan demikian, memperluas makanya. Digital adalah apa pun yang “direduksi” menjadi kode biner 1 dan 0. Hanya saja, dalam buku ini, “reduksi” itu dianggap tidak mengurangi apa pun—ia malah menambah keragaman ruang.

Dalam esai pembuka, Horst dan Miller mengemukakan enam prinsip untuk memahami antropologi digital (hal. 3-4). Pertama, digitalisasi membantu mengintensifkan karakter kebudayaan sebagai suatu hal yang terus mengalami pertentangan (dialektis). Kedua, kemanusiaan tidak akan termediasi dengan kehadiran digitalisasi. Kebangkitan era digital justru, lebih dari itu, membantu masyarakat memahami kehidupan “pradigital”, yakni—menurut keduanya—masa sebelum adanya uang. Ketiga, antropologi digital perlu menerapkan prinsip holistik dalam memahami manusia dan kemanusiaan. Prinsip ini melihat partikularitas peristiwa yang terjadi pada suatu ruang dan waktu, yang dibaca dan ditarik dalam konteks yang lebih luas. Keempat, pandangan relativitas kebudayaan menjadi penting agar digitalisasi tidak dinilai sebagai proses homogenisasi kebudayaan.

Era digital juga memberi ruang bagi suara-suara lain; ia membuka ruang bagi suara alternatif. Berkaitan dengan ruang alternatif itu, penting untuk memahami prinsip kelima antropologi digital, yakni bahwa kehidupan digital membuat distingsi antara “keterbukaan” dan “ketertutupan” menjadi ambigu. Ruang digital tidak melulu terbuka, tapi ia tidak pula tertutup. Dalam kasus suara-suara anonim yang memberikan pendapatnya terhadap sesuatu, ada keterbukaan untuk berpendapat, sekaligus ketertutupan indentitas-identitas yang bersuara itu. Yang “tertutup” dan “terbuka” di ruang digital membangun suatu hubungan yang saling berkaitan erat.

Prinsip yang terakhir adalah bahwa baik “yang digital” maupun “yang analog” merupakan hal yang sama-sama material. Prinsip ini menegaskan bahwa yang digital tidak berbeda dari kebudayan material pada umumnya, sebelum “yang digital” lahir. Semua hal yang digital adalah juga artefak kebudayaan. Ia pun memiliki mekanisme kerja representasi masyarakat sebagaimana kebudayaan “pradigital”.

Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar baru ketika manusia mempersoalkan digital. Horst dan Miller berpendapat bahwa proses digitalisasi sudah terjadi sebelum teknologi itu ada, yakni melalui uang. Penggunaan uang mereduksi semua pemenuhan kebutuhan manusia dalam mediasi uang melalui proses jual beli. Reduksi ini berarti juga reduksi nilai ekonomi. Sebelumnya, nilai sebuah barang diukur melalui barang lain (dalam pertukaran antar-barang, barter). Uang menyederhakan ini; ia jadi ekspresi universal dari nilai seluruh barang. Semua nilai dari semua barang harus bisa diekspresikan dalam bentuk uang. “Digitalisasi” yang muncul akibat uang ini, hari ini, dipandang sebagai sesuatu yang “alami”, artinya, sesuatu yang melekat dan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Pandangan negatif terhadap era digital yang mereduksi kehidupan sebenarnya timbul karena belum munculnya imajinasi manusia untuk mengembangkan budaya dalam platform digital (Boellstorff, hal. 56).

Persoalan digital juga melibatkan pembedaan “yang virtual” dan “yang riil”. Keseluruhan esai dalam buku ini berusaha membongkar perbedaan tersebut. Hal virtual (seperti permainan simulasi daring, media sosial, atau televisi) dan yang riil (kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari) memang berjarak. Namun “yang virtual” dan “yang riil” ini terus berinteraksi. Manusia membenturkan atau mempertemukan nilai yang didapat ketika keluar dari ruang virtual dan masuk ke ruang riil, serta sebaliknya.

Benturan “yang virtual” dan “yang riil” ini dapat ditemukan dalam penelitian Boelstroff atas permainan simulasi The Second Life. Dalam permainan ini, pengguna membuat “kehidupan” sehari-hari dan melakukan interaksi antara karakter virtual mereka dengan karakter virtual pengguna lain. Fitur percakapan (chatting) dalam permainan tersebut mengungkapkan bahwa banyak istilah, obrolan, serta pembentukan karakter (dari pengaturan rumah virtual atau interaksi sosial-virtual antarkarakter), yang merujuk pada keseharian kehidupan sosial para pengguna.

Digitalisasi dan Media

Dalam antologi esai ini, digitalisasi dianggap sebagai perbanyakan dan pelebaran ruang-ruang kebudayaan. Ia tidak dilihat dalam bingkai perbincangan moral. Hal ini dapat dilihat dalam esai berjudul “New Media Technologies in Everyday Life”. Penulisnya, Horst, mengintegrasikan studi antropologis primer, seperti studi tentang kehidupan rumah tangga, dengan kehidupan digital melalui berbagai media baru.

Seturut prinsip-prinsip antropologi digital yang telah dijelaskan di atas, Horst meneliti bagaimana budaya hiburan seperti televisi, komputer permainan (gaming computer yang dirancang berbeda dengan prosesor biasa), dan lain-lain, mempengaruhi kehidupan sehari-hari rumah tangga. Ia menemukan bahwa barang-barang tersebut pada akhirnya dapat menentukan ekonomi moral sebuah keluarga. Kebiasaan dalam menggunakan budaya hiburan itu dapat memperlihatkan sejauh mana sebuah identitas anggota rumah tangga dibangun.

Esai Lain DeNicole yang berjudul “Geomedia, The Reassertion of Space within Digital Culture” bercerita soal lain lagi. DeNicole mempertanyakan makna kultural di balik digitalisasi ruang melalui aplikasi geotagging seperti Google Earth, Google Maps, GPS, dan program Earth Remote Sensing (ERS). Aplikasi-aplikasi ini tidak hanya melayani fungsi informasional dalam membuat representasi digital dari ruang. Pemetaan ruang secara digital, menurut DeNicole, adalah implikasi dari melebarnya aktivitas keruangan dalam kebudayaan, yang dibantu oleh digitalisasi.

Layaknya kartografi dan pemetaan dengan cara analog, pemindahan ruang dalam bentuk digital menegaskan tesis Henri Levebfre bahwa “ruang merupakan komponen esensial dalam teori sosio-kebudayaan.” (hal. 93). Mengalihkan peta dan kartografi dalam bentuk digital berkontribusi pada pemaknaan ruang-ruang baru yang diciptakan oleh proses digitalisasi. Ruang geografis yang dibuat di atas peta digital tidaklah berfungsi hanya sebagai arsip data. Ia juga menunjukkan bagaimana ruang-ruang tersebut diklaim ulang melalui moda digital. Tujuannya, agar apa yang ada di atas peta tidak hanya menjadi tanda-tanda statis, melainkan juga relevan setiap kali digunakan dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, media merupakan poin penting. Antropologi digital dimaknai sebagai studi untuk menjelajahi cara dan pemahaman baru antara praktik media dan bangunan dunia media tersebut pada tiap individu, komunitas, dan kehidupan sekelompok orang, di dalam ruang media, dan cara yang berbeda (Horst, hal. 73). Manusia dan kebudayaan, sebagai inti dari antropologi, akan terus termediasi. Lahirnya digitalisasi dan media baru tentu tidak terlepas dari proses mediasi manusia dan kebudayaannya, dan sebaliknya.

Dalam buku ini, terdapat pula penelitian yang lokusnya adalah Indonesia. Bart Barendregt dengan esai “Diverse Digital Worlds” mengurai penggunaan media sosial di Indonesia. Ia menemukan bahwa aktivitas “menggoda” (flirting), bercakap-cakap, dan mengeluh (complaining) tentang pemerintah di media sosial, jauh lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan banyak negara lain (hal. 209).

Sejak terjadinya “revolusi digital” di Indonesia, masyarakat dengan antusias menyambutnya. Menjamurnya platform digital terbaru seperti ponsel pintar, internet, dan CD interaktif berkaitan dengan karakter budaya lisan masyarakat Indonesia. Budaya lisan itu mengakibatkan proses digitalisasi di Indonesia menjadi ter-Indonesianisasi.

Revolusi digital global, menurut Barendregt, selalu memicu respon lokal (hal. 207). Dalam kasus Indonesia, respon lokal ini dimulai dari sejarah naiknya penggunaan internet di akhir Orde Baru sebagai sarana resistensi dan penolakan terhadap wacana Orde Baru. Pasca runtuhnya otoritarianisme, upaya membangun tatanan sosial masyarakat pun dimediasi oleh moda digital. Proses sosial-historis dan kebudayaan lokal yang berjalan beriringan dan bertanggapan dengan wacana global inilah yang menyebabkan pengalaman digital di Indonesia, maupun negara lain, berbeda.

Catatan

Secara garis besar, buku ini melihat antropologi digital sebagai sebuah metode ketimbang disiplin. Boellstroff menarik perbedaan antara antropologi digital dan antropologi virtual (hal. 40). Boellstroff tidak menyamakan keduanya, karena menganggap kedua cabang ilmu tersebut memiliki fokus yang berbeda. Walaupun sama-sama berurusan dengan data digital, antropologi digital lebih menekankan pada negosiasi yang terjadi antara dunia virtual dan yang riil, ketimbang antropologi virtual yang lebih fokus pada studi data di ruang digital.

Antologi esai ini terbilang cukup rumit, apalagi bagi para pembaca yang tidak familiar dengan disiplin antropologi. Namun demikian, buku ini memberi manfaat besar bagi studi media, khususnya dalam melihat media baru. Teknologi media, melalui buku ini, tidak bisa dilihat hanya sebagai teknologi an sich. Kehadiran media dan teknologi tidak bisa dilihat bebas nilai. Nilai justru diciptakan oleh pengguna media dan teknologi. Dalam proses penciptaan nilai tersebut, kemanusiaan pada akhirnya melampaui “yang teknologis”. []

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...