Akhirnya saya bersalaman dengan Cak Nun, Emha Ainun Nadjib itu, di ujung teras Pendopo Kabupaten Temanggung. Saya menyambutnya ketika turun dari Serena warna abu-abu, mencium tangannya, mengiringinya menuju ruang tamu rumah dinas bupati, dan menunggunya ketika dia berbicara dengan Pak Bupati, Pak Kapolres dan Pak Dandim. Kecuali rambut dan kumisnya yang memutih, tak ada yang berubah dari dia: wajahnya, senyumnya, cara berjalannya, masih sama dengan ketika kali pertama saya melihatnya lebih 25 tahun yang silam sewaktu dia berceramah di Kampus ITN, Malang.
Saya memang menyimpan keinginan untuk berdekatan dengan Cak Nun, melihatnya dari dekat, mendengarkan ceramah, wejangan, atau semacam itu, dan malam Sabtu lalu, keinginan saya terwujud di Temanggung. Tak perlu bertanya alasan saya karena ini memang perasaan norak pribadi dan saya tidak peduli. Sejauh ini saya mengenal Cak Nun hanya lewat tulisan-tulisannya di koran, majalah, berbagai buku yang ditulisnya, dan cerita yang disampaikan Mas Fian.
Dia sepupu Cak Nun. Saya memanggilnya Mafi. Kami pernah tinggal cukup lama di deretan rumah petak yang kumuh, di Gedangan, Sidoarjo di awal-awal 1990-an. Mafi karikaturis di harian sore Surabaya Post, dan saya gelandangan yang melanglang tanpa tujuan setelah dipecat dari kampus di Malang.
Hampir setiap malam ketika kami bersantai minum kopi dan merokok, Mafi bercerita “siapa” Cak Nun. Anak muda yang pernah mondok di Gontor hanya dengan selembar baju, pemuda yang pernah tinggal di Jerman dan membuatkan tesis tentang arsitektur untuk seorang temannya, budayawan yang dilupakan oleh anak didiknya yang kemudian menjadi penyanyi terkenal di Jakarta, manusia yang selalu membela teman-teman dan orang-orang yang kalah. “Suatu hari nanti, sampean pasti akan bertemu dengan Cak Nun.”
Dan saya benar-benar bertemu dengan Cak Nun di Temanggung. Dia sempat menatap saya ketika saya selesai mencium tangannya. Saya juga menatapnya. Ada rasa deja vu. Saat berjalan beberapa langkah meninggalkan saya, dia menoleh sekali lagi ke arah saya, seolah hendak berkata, “Siapa ya? Ya, ya… aku mengenalmu.” Saya hanya menunduk.
Saya datang ke Temanggung atas undangan seorang kawan baik di Yogyakarta yang kepadanya saya menaruh hormat. Dia mungkin tidak tega membiarkan saya kesepian di Jakarta, tak punya penghasilan, kurang piknik, dan sebab itu mengundang saya ke Temanggung, dan nanti untuk mengikuti pula pengajian Cak Nun di lima kota. Saya mengiyakan sebab saya memang tidak pernah bisa menolak kebaikannya, kebaikan dari orang-orang yang menurut saya, mencintai saya. “Siapa tahu ada yang bisa sampean tulis tentang Cak Nun, Cak.”
Keluar dari ruang tamu bupati Temanggung, selepas dicegat dan melayani pertanyaan wartawan di teras belakang pendopo, Cak Nun bergegas berjalan menuju alun-alun, sekitar 500 meter sebelah timur pendopo. Bersama komandan Banser yang menenteng radio komunikasi dan volumennya disetel kencang, saya berjalan paling depan.
Berusaha membuka jalan, meminta anggota Banser yang berjaga di alun-alun untuk menutupi atau berdiri di tanah yang becek agar tidak dilewati Cak Nun, Pak Bupati dan jajaran Muspida. Agar menyoroti dengan senter, tanah di alun-alun yang akan dilalui oleh Cak Nun, dan membuat pagar betis. Dan saya kira, para anggota Banser itu bingung melihat saya yang bersarung dan berpeci, dan barangkali juga bertanya-tanya siapa saya, tapi saya tidak peduli.
Sejak selesai waktu sembahyang isya, lautan manusia sudah menunggu Cak Nun di alun-alun Temanggung. Mereka datang dari penjuru Temanggung, terutama para petani tembakau dari lereng Gunung Sindoro, Sumbing dan Prau. Para petani itu menumpang truk kecil, sepeda motor, dan sebagainya, dengan membawa tikar dan perlak untuk melapisi rumput alun-alun yang basah oleh hujan yang turun sejak waktu ashar.
Mereka duduk tertib menghadap panggung Kiai Kanjeng, mengumandangkan salawat dan mengabaikan udara dingin. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, remaja, dan para pedagang bercampur tumpah ruah. Di beberapa sudut di atas mereka duduk, sesekali meluncur mainan berbaling-baling yang memendarkan warna ungu seolah mengganti bintang di langit yang malam itu tak muncul.
Mendekati panggung dari sisi sebelah utara, lautan manusia yang membentuk semacam gang atau lorong sempit sepanjang 20 meter, sudah berjejalan hendak menyambut Cak Nun. Saya yang tiba lebih dulu di bibir panggung di dekat tangga besi, menyaksikan puluhan anggota Banser yang membentuk pagar betis tak mampu membendung orang-orang yang ingin menyalami Cak Nun, menyentuhnya, menciuminya. Cak Nun tersenyum. Anggota Banser terus menyibak kerumuman.
Di pinggir panggung, saya meraih lengan Cak Nun dan Pak Bupati untuk memudahkan naik ke atas panggung. Pak Dandim dan Pak Kapolres yang berbadan gagah sigap meloncat. Di belakang mereka, menyusul rombongan ibu-ibu. Sabrang, anak sulung Cak Nun, naik belakangan.
“Tolong tutup mas. Tutup. Sampean berdiri di sini,” saya menarik beberapa anggota Banser agar berdiri berjajar di tepi panggung di dekat tangga besi berundak tiga, agar orang-orang tidak naik dan memenuhi panggung yang bangunannya dibuat hanya sepanjang kurang-lebih 10 meter, lebar 4 meter, dan tinggi semeter. Mereka segera berdiri berjajar di sisi utara panggung, tapi tiga laki-laki yang rupanya sudah duduk bersila merasa terganggu dengan barisan Banser di pinggir panggung. “Mas pinggir, pinggir. Saya tak bisa lihat panggung.”
Anggota Banser bergeser merapat ke samping. Bertumpuk di dekat sudut belakang panggung. Saya berdiri di atas panggung. Di dekat penabuh drum.
Cak Nun sudah duduk bersimpuh di tengah di bagian depan panggung. Di sebelah kirinya duduk Pak Bupati, Pak Wakil Bupati, Pak Dandim, Pak Kapolres. Di sebelah kanannya ada Sabrang. Di sebelah Sabrang duduk Ketua APTI Temanggung, para lurah dari lereng Gunung Sindoro, Sumbing dan Prau.
Saya dan Abhisam, kawan Sabrang, masih berdiri di sudut belakang panggung, ketika Sabrang memberi kode pada Abhi untuk mendekat. Abhi ragu-ragu. Saya mendorongnya. Kami mendekati Cak Nun dan Sabrang. Duduk bersila persis di belakang mereka, di sebelah kiri dua vokalis Kiai Kanjeng, Islamiyanto dan Imam Fatawi.
Saya menoleh ke belakang, membaca tulisan yang menjadi latar belakang panggung. “Sinau Kedaluatan Bersama Cak Nun, Menyambut Musim Tanam Tembakau.”
Acara malam itu, memang acara para petani tembakau. Mereka sengaja mengundang Cak Nun untuk dijadikan tempat bersandar, bilik untuk mengadu, meluapkan kerinduan, menguatkan harapan dan rasa tentram, mendoakan, membesarkan hati mereka, setelah sejak bertahun-tahun lamanya, tembakau yang mereka tanam dan juga tembakau-tembakau di tempat lain, mulai diancam ditiadakan, dianggap berbahaya, dicap haram.
Saya memperhatikan telapak kaki Cak Nun yang bagian tengahnya berdenyut saat dia mengawali pengajian dengan mengajak semua orang membaca Alfatihah. Dia mengajak semua orang untuk menyadari bahwa yang ada hanyalah Allah.
“Tinggalkan urusan rumah kalian. Tinggalkan utang-utang kalian. Di sini yang ada hanya hatimu untuk Allah. Jangan memandangku, tapi ingatlah Allah dan Kanjeng Nabi, yang menjaga tanah-tanahmu. Mari bersama membaca Alfatihah.”
Saya membaca Alfatihah sembari memandangi punggung Cak Nun, dan saya teringat pada Mursyid saya, yang adalah juga kawan Cak Nun. Sesudahnya, Cak Nun segera mengajak semua yang hadir untuk berdiri, dan bersama-sama membaca salawat di kitab Barzanji. “Yaa Rasul salam alaika… Yaa Nabi salam alika… Yaa Habibi salam alaika… Shalawatullah alaika…” [Wahai Rasul, selamat untukmu. Wahai Nabi, selamat untukmu. Wahai Kekasih, selamat untukmu. Selamat dari Allah untukmu].
Pada saat seperti itulah, saya selalu tak bisa menahan diri. Setiap kali melantunkan puji-pujian pada Nabi Muhammad saw. itu, sembari memejamkan mata, mata saya akan selalu berkaca-kaca. Mengingat Mursyid saya, mengingat orang tua dan mengenang masa kecil di Situbondo, membayangkan orang-orang yang tidak berdaya yang selalu dikalahkan, mengingat orang-orang tangguh yang tak pernah menyerah, merasakan bahwa saya bukan siapa-siapa, dan memang saya bukan siapa-siapa.
Ketika saya membuka mata, saya melihat seorang anak muda mengenakan jaket hitam dan kepalanya ditutup kopiah haji, yang berdiri menghadap panggung di sebelah kiri Cak Nun, bersedekap sambil memejamkan mata. Wajahnya menengadah ke langit. Air matanya jatuh mengalir dari ujung matanya. Cak Nun memulai pengajian malam itu dengan melembutkan hati.
Ada basa-basi sedikit setelah itu: penyerahan bibit tembakau dari Cak Nun kepada tiga lurah di lereng Gunung Sindoro, Sumbing, dan Prau. Sesudahnya Cak Nun lantang bersuara.
“Mulai sekarang, siapa saja yang mematikan tembakau, sama artinya melawan Gusti Allah. Anda semua tak perlu kuatir. Tak perlu takut.”
Riuh hadirin mendengar pernyataan Cak Nun.
“Siapa yang menciptakan tembakau?”
“Gusti Allah.”
“Siapa yang menjaga tembakau?”
“Gusti Allah.”
“Ya malaikat juga rek. Nanti kalau semuanya Allah, malaikat tak punya kerjaan.”
Cak Nun lantas mempersilakan beberapa utusan petani tembakau menyampaikan curahan hati, nguda rasa, dan malam itu keluarlah banyak uneg-uneg dari mereka. Mulai dari peraturan tentang tembakau yang dibuat pemerintah yang dirasakan oleh para petani tidak pernah berpihak pada mereka, hingga harapan mereka agar Cak Nun berdiri di depan membela mereka.
“Sekarang, pemerintah malah membuka impor tembakau padahal tembakau kita adalah yang terbaik di dunia. Desa kami di Lamuk, adalah penghasil tembakau srinthil, tembakau paling mahal,” kata Subakir, Lurah Lamuk.
Srinthil adalah tembakau nomor wahid yang hanya tumbuh di dataran tinggi Temanggung. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah untuk setiap kilo. Karena kadar nikotinnya yang tinggi, Srinthil dijadikan tembakau pencampur tembakau lainnya. “Nikotin itu ciptaan Allah lalu sekarang keluar fatwa haram untuk tembakau. Menurut Cak Nun, ini bagaimana?”
Cak Nun menyambut keluhan itu dengan kelakar. Khas Cak Nun. Dia bilang, peraturan terhadap tembakau memang tidak adil dan serba tidak jelas. Persis seperti peraturan lalu-lintas yang biasa ditemui di lampu merah seperti “Belok kiri mengikuti lampu.”
“Saya pernah naik sepeda motor, berhenti di lampu merah yang ada tulisannya ‘Belok kiri mengikuti lampu.’ Saat lampu hijau saya tidak jalan sampai pengendara lain menegur. Saya jawab, ‘Lah itu disuruh ngikutin lampu, dan lampunya belum bergerak’.”
Hal yang sama juga diberlakukan pada tembakau dan rokok. Di setiap bungkus rokok, kemudian bukan hanya harus diberi gambar-gambar yang menyeramkan, tapi masih juga ditulis peringatan bahwa merokok berbahaya, menyebabkan aneka penyakit. “Ini peraturan yang tidak jelas dan tidak adil.”
Mestinya kata Cak Nun, kalau merokok dianggap berbahaya dan menyebabkan penyakit, maka di setiap bungkus gula juga harus ditulis peringatan “Gula bisa menyebabkan penyakit gula” atau di setiap knalpot kendaraan bermotor ditulis “Asap knalpot membunuh lebih cepat dari asap rokok.”
Hadirin kembali riuh. Mereka tampaknya sepakat dengan Cak Nun. Sebuah tembang, mengakhiri penjelasan Cak Nun yang pertama. Dia mengajak yang hadir ikut menembang. Penyanyinya Imam dan Islamiyanto. Cak Nun yang berdiri menoleh ke arah saya. Menawarkan mic, dan memberi isyarat agar saya juga berdiri dan ikut menyanyi. Saya menolak. Cak Nun tersenyum.
Sesudahnya, giliran seorang lurah yang lain megeluhkan mencla-menclenya pemerintah, dan meminta Cak Nun datang ke Istana, seperti yang dulu, pernah dilakukannya ketika mendampingi Soeharto diawal-awal reformasi. “Tolong Cak Nun tampil lagi.”
Cak Nun menjelaskan, dulu ketika dia mendampingi Soeharto yang lengser di Istana, banyak orang menuduhnya macam-macam, dan itu sebab dia kemudian tak mau lagi terlibat untuk urusan politik-politikan. Orang-orang menuduh Soeharto korupsi tapi setelah mereka menggantikan Soeharto, mereka beramai-ramai juga melakukan korupsi. Masalahnya hanya perkara tidak kebagian. Kalau dulu yang korupsi hanya Soeharto, sekarang yang korupsi adalah mereka-mereka.
Menanggapi curahan hati petani soal tembakau, dengan bercanda Cak Nun menjawab, “Dulu yang milih presidenmu siapa? Kalian yang milih sendiri, dan sekarang kalian mengeluh. Ini maaf loh Pak Bupati.”
Suara tawa meledak. Para petani tembakau, lurah mereka, berikut bupati Temanggung mungkin merasakan satir dari pernyataan Cak Nun telah menusuk pinggang dan ulu hati mereka. Di musim pemilihan presiden tahun lalu, para petani di lereng Gunung Sindoro, Sumbing dan Prau, 100% memberikan suara untuk Jokowi. Mereka berharap dengan memilih Jokowi, nasib mereka dan tembakau mereka, akan diperhatikan, diperjuangkan.
“Karena itu berhati-hatilah berdemokrasi. Hati-hati, agar mendapat pemimpin yang benar. Sekarang, buktinya, negara yang seharusnya melindungi saudara, malah mengancam. Lebih tinggi mana rakyat sama presiden?”
Untuk peraturan tentang tembakau, menurut Cak Nun, di belakangnya berdiri buta-buta atau para raksasa. Ada kepentingan [bisnis dan politik] besar di balik lahirnya undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat dari para buta. Tembakau para petani dilarang, tapi nanti justru buta-buta itulah yang akan menanam tembakau di negeri ini. Dia karena itu membesarkan hati para petani.
“Teruslah menanam tembakau, suburkan ladang-ladangmu. Tak ada yang perlu dirisaukan. Nanti Allah yang memberikan panen kepada kalian.”
Malam itu, pengajian Cak Nun memang penuh dengan curahan hati para petani tembakau. Kesedihan dan ketidakberdayaan mereka yang merasa terancam dengan berbagai peraturan yang terus memepet dan memperdaya mereka. Cak Nun menumbuhkan keyakinan bahwa di masa mendatang dan dalam waktu yang tidak lama, para petani termasuk petani tembakau akan menjadi primadona di negeri ini.
Menjelang ujung acara, dia meminta para petani agar tidak lupa pada Allah dan Rasul. Menyarankan mereka untuk membuat kelompok-kelompok zikir atau wiridan. Zikir dan wirid kata Cak Nun adalah obat hati yang sedih dan kalut. Memperbanyak zikir kepada Allah, akan mendorong perubahan-perubahan yang diinginkan bisa terjadi. “Berharaplah hanya kepada kehendak Allah bukan kepada manusia.”
Cak Nun memimpin doa setelah itu. Doa yang bagi saya sungguh sederhana. “Ya Allah, Engkau tidak main-main menumbuhkan segala tumbuhan. Engkau tidak main-main menumbuhkan tembakau bagi para petani. Barang siapa yang mempermainkan nasib petani dan tembakau, mereka akan mendapat murka-Mu. Barang siapa bermain-main dengan nasib banyak orang, mereka akan mendapat azab-Mu.”
Semua tertunduk. Cak Nun tertunduk. Ucapan “Aamiin ya Allah…” yang menggemuru seolah suara lebah, seperti memanah langit di atas alun-alun Temanggung. Wajah-wajah para petani yang bertahun-tahun dan turun-temurun menanam tembakau, di tengah malam itu, saya saksikan seperti menitipkan harapan.
Di ujung acara, Cak Nun mempersilakan semua yang hadir untuk bersalaman. Anggota Banser sekali lagi membentuk pagar betis di depan panggung dan hanya menyisakan jarak semeter antara mereka dan tepi panggung tempat Cak Nun, Pak Bupati dan wakilnya, Pak Dandim dan lain-lain berdiri. Saya berdiri di belakang Cak Nun dan menyaksikan betapa para petani itu memang menjadikan Cak Nun sebagai sandaran.
Mereka bukan hanya menciumi tangan Cak Nun, tapi memeluk, merubuhkan diri ke badannya. Seolah sahabat yang lama tidak bertemu, seolah penguasa yang kehadirannya dirindukan dan tak hendak dilepaskan, seolah kekasih yang mestinya tidak pergi. Pemandangan semacam itu, puluhan kali saya saksikan, setiap kali saya melihat para santri menciumi tangan para kiai dan memeluknya.
Dan malam itu di Temanggung, saya menyaksikan Cak Nun yang mengenakan celana jins hitam, kemeja katun putih dengan kancing pengikat mirip baju khas Cina, yang lebih 25 tahun lalu saya lihat berjalan menuju podium di aula Fakultas Teknik Arsitektur, ITN Malang, untuk memberikan ceramah Maulid Nabi, dipeluk dan diciumi banyak orang dan mereka bukan santri, melainkan para petani tembakau yang sedih.
Seorang pemuda berkopiah bertanya pada saya, tentang gelas kopi Cak Nun.
“Mas kopi bekas Cak Nun yang mana?”
“Wah sudah dibereskan mas.”
“Bukan yang itu ya?” Dia menunjuk gelas yang kopinya sudah hampir habis.
“Oh iya, itu gelas Cak Nun.”
Dari alu-alun, Cak Nun disertai Pak Bupati dan pejabat lainnya, kembali berjalan menuju pendopo. Sabrang sudah lebih dulu “diselamatkan” Abhisam ke rumah dinas bupati, karena banyak anak muda menumpuk di panggung, meminta berfoto bersama Sabrang.
Saya sekali lagi berjalan di depan bersama beberapa anggota Banser. Melewati pendopo, Cak Nun menuju ruang tamu Pak Bupati. Saya sesekali masuk, lalu menunggunya di luar. Menjelang pulang, beberapa orang memintanya berfoto, dan Cak Nun melayaninya dengan tersenyum.
Sesudahnya, sekali lagi saya menciumi tangannya, dan agak lama memegangi telapak tangannya. Saya berusaha menatapnya dan kembali merasakan deja vu itu. Cak Nun masuk ke mobil yang akan membawanya ke Yogyakarta.[bersambung]
Sumber: Rusdi GoBlog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar