Partisipasi warga dalam mengusung Jokowi sebagai presiden sering dilihat sebagai peningkatan dalam demokrasi Indonesia. Pemerintahan yang dijalankan Jokowi, sayangnya, berpotensi mengkhianati dukungan warga.
Sebetulnya agak klise kalau saya mengingatkan lagi bahwa reformasi ini dibayar mahal oleh darah ribuan orang; anak muda, buruh, petani, hingga pejuang hak asasi manusia. Namun, saya pikir tidak ada yang klise kalau sudah terkait soal kebebasan dan kemerdekaan. Kita mesti terus mengulang-ulang peringatan tersebut, supaya kita tetap menghargai kebebasan yang kita miliki saat ini. Toh, pemerintah Orde Baru juga tidak takut dikatakan klise ketika mereka terus-terusan mengingatkan kita tentang “bahaya laten komunisme”, atau agar berpegang pada “asas tunggal Pancasila”. Aparat keamanan sampai saat ini toh juga tidak jemu-jemu mengingatkan kita soal bahaya munculnya “Komunisme Gaya Baru”. Jadi, kenapa kita merasa klise untuk mengingatkan kembali bahwa reformasi yang kita peroleh ini tidak gratis? Justru dari mengingat inilah kita disentil untuk menjaga agar reformasi tetap pada arah yang kita, warga negara, inginkan.
Baru setahun yang lalu kita bergembira karena percaturan politik kita “naik kelas” melalui terpilihnya Jokowi ke kursi kepresidenan. Kenaikan kelas ini bukan hanya karena sosok Jokowi yang tidak berasal dari petinggi partai dan bukan sisaan Orde Baru (ini tentu bertentangan dengan kebiasaan politik kita). Kesuksesan ini juga ditentukan oleh partisipasi rakyat yang begitu semarak, yang begitu beragam dan begitu swadaya. Baru kali ini seorang presiden didukung aktif oleh pihak-pihak yang demikian beragam—mulai dari seniman, warga kantoran, buruh dan anak muda—yang semuanya mengerahkan kreativitas dan jaringan mereka hanya untuk mendukung Jokowi.
Namun, ibarat permainan jungkat-jungkit yang kadang naik dan kadang turun, setahun setelah “kenaikan kelas” ini, demokrasi kita kembali terancam. Ironisnya, ini terjadi justru di masa kepemimpinan Jokowi, orang yang kita percaya sebagai perwakilan warga sipil yang seharusnya lebih pro terhadap demokrasi.
Ancaman ini dipicu oleh beberapa peristiwa. Pertama-tama, naiknya jumlah orang yang dijadikan tersangka pelanggaran Pasal 27 UU ITE, yang sampai saat ini sudah berjumlah 118 orang. Walau katanya sudah ada rencana revisi UU ini, namun konon pasal 27 ini tidak akan dihilangkan. Perubahan yang terjadi hanya seputar peringanan sanksi, baik sanksi penjara maupun sanksi denda. Perubahan ini tidak menggembirakan, karena toh pasal tersebut masih bisa digunakan siapa pun untuk membungkam siapa pun tentang hampir apa pun. Karena tidak ada batasan yang jelas tentang apa itu pencemaran nama baik, kritik terhadap pejabat publik atau institusi publik bisa jadi dituduh sebagai pencemaran nama baik. Jadi, dalam 5 tahun ke depan, UU ITE masih bakal menjadi bisul bagi Reformasi.
Sejajar dengan UU ITE, beberapa waktu yang lalu DPR sempat membahas rancangan UU Kebudayaan. RUU ini cukup bermasalah karena berbagai alasan. Di antaranya, kemunculan pasal tembakau secara ajaib dalam RUU tersebut, yang dianggap sebagai warisan budaya bangsa, sehingga perlu dijaga. Selain itu, RUU tersebut juga mengamanatkan terbentuknya Komisi Perlindungan Kebudayaan/Dewan Budaya Nasional. Komisi tersebut bertugas untuk, antara lain, meneguhkan ketahanan budaya dan melindungi masyarakat dari dampak negatif kebudayaan, serta meminta kepada pihak terkait untuk bertindak sesuai dampak negatif kebudayaan tersebut. Dengan kata lain, ini adalah dewan sensor budaya!
Meski RUU tersebut belum selesai dibahas 2015 ini, namun besar kemungkinan akan diajukan lagi di tahun-tahun berikutnya. Hal ini mungkin terjadi mengingat 2014 lalu RUU ini sempat dibahas DPR dan ditolak oleh komunitas seni. Untungnya, masa jabatan DPR 2009-2014 keburu habis sebelum RUU ini sempat disahkan.
Masih dalam ranah kebudayaan, ancaman juga datang dari rencana untuk memperluas kewenangan Lembaga Sensor Film (LSF) sehingga bisa mensensor sebuah film sejak dari proses pra-produksinya, sejak naskah film dibuat. Ide dari Komisi I DPR ini ditanggapi baik oleh LSF yang mengatakan siap melaksanakan tambahan tugas tersebut asal dibuatkan payung hukumnya.
Selain melalui undang-undang dan rancangannya, aturan lain yang berpotensi mengancam demokrasi adalah Surat Edaran (SE) Kapolri tentang Ujaran Kebencian. SE dengan Nomor SE/06/X/2015 tersebut diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia. Memang, kita sudah lama menginginkan adanya tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang menyuarakan kebencian berbasis ras, agama, atau identitas lainnya. Namun, surat edaran ini juga punya potensi membungkam kritik terhadap kinerja suatu institusi publik.
Potensi ini terlihat dari dimasukkannya poin soal penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan ke dalam SE tersebut. Kita paham betul bahwa keempat soal tersebut sangat bersifat karet dan justru berpotensi menjerat orang yang melayangkan kritik. Apalagi jika kita melihat bahwa kasus yang pertama kali kena SE ini adalah soal foto pertemuan Jokowi dengan Suku Anak Dalam. Tanpa tunggu lama, Kapolri mengindikasikan akan mengusut penyebar foto tersebut. Padahal, menurut Forum Demokrasi Digital, foto tersebut sebetulnya tidak termasuk ke dalam ujaran kebencian, melainkan penyebaran berita bohong. Dengan contoh kasus ini, saya meragukan pemahaman aparat kepolisian tentang apa itu ujaran kebencian.
Ada pula Peraturan Gubernur No. 228 tahun 2015 yang mengatur tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Melalui aturan ini, demonstrasi hanya boleh dilakukan di tiga tempat di Jakarta, harus mendaftar tiga hari sebelumnya, dan tidak boleh melebihi volume suara 60 desibel. Melalui peraturan ini pula, TNI bisa dilibatkan dalam mengamankan demonstrasi. Aturan ini ditentang oleh para pegiat demokrasi karena amat membatasi penyampaian pendapat bagi warga dan tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Meski Pergub tersebut akan diubah, namun peran TNI di dalamnya konon masih tetap dipertahankan.
Sementara itu, di lapangan ada sejumlah peristiwa lain yang membuat kita merasa ruang gerak kita dipersempit, misalnya serangkaian kecurigaan aparat keamanan terhadap Komunisme Gaya Baru (KGB). Kita tidak pernah menemukan penjelasan tentang siapa saja yang ada di belakang KGB ini, atau gaya komunisme yang baru itu seperti apa. Memang sengaja dibiarkan agak blur sedikit, supaya tidak ketat alias lentur alias karet, sehingga bisa dikenakan pada siapa saja. Karena isu KGB inilah maka sejumlah peristiwa terjadi, dari kasus deportasi Tom Iljas, pembredelan majalah kampus Lentera, pembatalan sesi tentang 1965 di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Imbas dari kasus UWRF juga menjalar hingga permintaan aparat keamanan untuk membatalkan sesi “For Bali”, yang membahas tentang gerakan penolakan reklamasi pantai di Bali, padahal jauh dari isu 1965. Intel dan aparat keamanan juga mondar-mandir di sekitar tempat acara UWRF, sebuah perbedaan mencolok apabila dibandingkan dengan penyelenggaraan acara itu di tahun-tahun sebelumnya.
Dari serentetan “musibah” ini, kita masih beruntung nasib Peraturan Presiden mengenai perluasan kewenangan TNI belum jelas. Kalau Perpres ini disahkan oleh Jokowi, tentara jadi punya peluang besar untuk kembali masuk pada percaturan politik. Perpres itu perupakan dalih bagi TNI untuk menangani kejahatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kepolisian, seperti terorisme, penyelundupan, dan pemberantasan narkoba.
Ironisnya, langkah-langkah yang membatasi demokrasi dan memberi ruang politik pada tentara ini justru dikeluarkan oleh politisi sipil, yang dipilih dan didukung secara demokratis oleh rakyat Indonesia. Melejitnya karir politik Jokowi dan Ahok, pertama-tama, bukan karena dukungan tentara atau elit politik, melainkan karena dukungan rakyat dan warga dalam suatu peristiwa demokrasi yang megah. Relawan-relawan yang mendukung Jokowi pada Pemilu Presiden lalu, atau mendukung pencalonan Ahok untuk maju sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua, adalah warga yang sadar akan hak politik mereka. Warga tentu ingin berpolitik dalam kegembiraan, bukan dalam muram karena kebebasannya dibatasi.
Ketika bergerak setahun yang lalu, banyak dari relawan ini yang membayangkan berjalannya pemberantasan korupsi, penegakan HAM, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, yang ada di muka mereka saat ini adalah program Bela Negara, yang menargetkan 100 juta warga negara terlibat pada 2025. Padahal, belum jelas siapa musuh besar yang mendesak perlu kita lawan saat ini. Apakah keadilan dan pemberantasan korupsi bisa dicapai dengan program bela negara?
Apa ujung semua ini? Kita belum tahu pasti, namun kita berhak untuk khawatir dan waspada. Bukan karena kita parno atau su’udzon. Kita sudah cukup hapal dengan perilaku Orde Baru—dan rezim diktator mana pun di dunia—yang memulai pengekangan terhadap warga melalui pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Setelah sukses mengekang kebebasan berekspresi, maka hak-hak lain yang lebih subtansial biasanya juga ikut dikekang.
Karena kenyang dengan pengalaman tak enak ini, sudah selayaknya kita tidak sedikit pun memaklumi kemunduran Reformasi. Reformasi dan demokrasi bukanlah jungkat-jungkit. Tidak ada kesenangan dalam naik-turunnya kualitas demokrasi kita. Demokrasi adalah struktur yang menaungi semua warga, struktur yang dibangun setahap demi setahap, menuju bangunan lengkap. Jika di tengah jalan ada yang mempreteli bangunan tersebut sehingga tak kunjung selesai dibangun, kita bersama patut menghentikannya dan memberikan perlawanan. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar