Di puncak Gunung Semeru, dikepung dingin dan kabut yang magis, tubuhnya tergeletak. Tak bernyawa. Soe Hok Gie tewas menghirup gas beracun di ketinggian sunyi atap Pulau Jawa itu, 45 tahun lalu.
Saya membayangkan dia tersenyum dalam kematiannya. “Bahagialah mereka yang mati muda,” tulis Gie, hanya beberapa bulan sebelum dia meninggal pada usia 26 tahun.
Nama Gie teringat kembali ketika pekan lalu saya mendaki puncak Gunung Prau, Dataran Tinggi Dieng. Sambil menyaksikan semburat merah matahari terbit di atas awan, saya mengingat catatan-catatan Gie tentang kemanusiaan, cinta, hidup, dan kematian.
Gie bukan seorang fatalis. Dalam hidupnya yang ringkas, dia dikenal sebagai penulis produktif, pengamat sosial tajam, dan aktivis mahasiswa idealis. Salah satu bukunya, Catatan Harian Seorang Demonstran, melukiskan keresahan Gie pada era transisi antara dua kediktatoran, Orde Lama ke Orde Baru. Namanya menonjol sebagai patriot dan nasionalis keturunan Tionghoa.
Namun, jarang orang mengenal Gie sebagai seorang penjelajah alam. Dia adalah pendiri Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia. Mendaki gunung adalah salah satu aktivitasnya. Ironis, dia tewas oleh kuasa sebuah gunung, salah satu sumber kecintaannya terhadap tanah air Indonesia.
Saya kira dia tidak menyesal. Dalam catatan hariannya, kematian bukanlah tema yang menakutkan bagi Gie. “Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur,” tulisnya.
Gie rindu merasakan kehidupan kasar dan keras. Rindu “diusap angin sedingin pisau” atau “berjalan memotong hutan” dan “mandi di sungai kecil”.
Mengutip Walter Whitman, penyair Amerika, Gie menulis: “Rahasia menjadi manusia paripurna adalah tumbuh menghirup udara bebas, makan dan tidur beralaskan bumi.”
Saya banyak berutang inspirasi pada Gie. Lahir di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah, saya suka naik gunung sejak remaja. Tapi, saya lebih terpukau pada pandangannya tentang nasionalisme yang tidak klise.
Setuju Gie, menurut saya, patriotisme dan nasionalisme tidak mungkin tumbuh dari slogan-slogan, seperti “NKRI harga mati” yang belakangan populer. Seseorang dapat mencintai sesuatu secara sehat hanya jika ia mengenal sesuatu itu.
Indonesia tak hanya negeri vulkanik yang kaya gunung berapi, baik aktif maupun tertidur. Tapi, juga laut dan pulau-pulau yang indah. Jika peralatan selam sudah sepopuler sekarang, saya membayangkan Gie juga akan menikmati penjelajahan bawah laut negeri ini.
“Mencintai tanah air Indonesia,” kata Gie, “dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”
Ketika lima tahun lalu berkeliling Indonesia bersama rekan Ahmad Yunus, saya tak hanya menerobos hutan, tapi juga menyelam di taman-taman laut Indonesia terindah. Kami naik kapal-kapal pengangkut ikan, jagung, dan rotan. Tidur di kolong langit mengagumi bintang dan galaksi, di dermaga kayu pulau terpencil atau rumah-rumah nelayan. Juga mengagumi seni, budaya, dan adat-istiadat beragam suku.
Seperti bagi Gie, mendaki gunung dan menyelami laut adalah perjalanan sosial bagi saya. Sekaligus perjalanan spiritual.
Mungkin ada risikonya, tapi itu risiko yang layak dibayar untuk kebebasan dan kesenangan hidup akrab dengan alam. Hidup, kata Gie, adalah soal keberanian menghadapi yang misterius, yang tak dimengerti, dan yang tak bisa ditawar, termasuk kematian.
“Aku cinta padamu, Pangrango,” tulis Gie dalam sebuah puisinya tentang Gunung Pangrango, Jawa Barat. “Karena aku cinta pada keberanian hidup.”
Dalam perjalanan ke Australia setahun sebelum meninggal, Gie dicegat pabean Sydney yang kemudian menyita piringan hitam lagu-lagu Joan Baez koleksinya. Joan Baez pencipta lagu-lagu balada dan syair-syair protes melawan Perang Vietnam kala itu.
Jadi, saya kira, Gie tahu betul risiko menjadi burung camar yang terbang tinggi di langit seperti dalam syair lagu “Donna, Donna”. Dia tak cuma ingin mengeluh jadi “kerbau yang siap disembelih”.
Stop complaining! Who told you a calf to be? Why don't you have wings to fly with, like the swallow so proud and free?
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar