KPI baru saja merilis hasil riset indeks kualitas siaran televisi yang ketiga. Metode penelitian yang dipakai sama bermasalahnya dengan keberadaan riset ini sendiri.
Tahun ini, KPI membuat rangkaian survei indeks kualitas siaran televisi. Survei ini telah dilakukan dalam tiga periode, yakni Maret-April 2015, Mei-Juni 2015, dan Juli-Agustus 2015. Sebagaimana tertulis dalam laporan KPI, survei ini hendak dijadikan acuan alternatif bagi profesional media dalam memproduksi tayangan. KPI memilih untuk membuat cerminan kualitas tayangan sebagai alternatif dari rating yang hanya mengukur performa bisnis tayangan televisi. Mungkinkah tujuan ini dicapai dengan rancangan penelitian yang berupa survei indeks?
Survei indeks kualitas siaran adalah survei yang bertujuan untuk mengukur rata-rata kualitas tayangan televisi di Indonesia. Indeks kualitas dalam survei KPI diukur berdasar kategori tayangan. Setidaknya ada 9 kategori tayangan yang dipetakan kualitasnya dalam survei KPI, yakni: Anak, komedia, budaya, religi, telewicara, variety show, infotaiment, sinetron, dan berita. Dengan kata lain survei ini mengukur kualitas rata-rata tayangan televisi per kategori tayangan.
Jika survei ini hendak dijadikan acuan guna memperbaiki kualitas tayangan, mungkinkah profesional media dapat merefleksikan kualitas tayangan yang diproduksinya dari survei yang hanya mengukur kualitas rata-rata tayangan? Jelas tidak mungkin! Pasalnya, survei macam ini hanya mungkin memberi informasi bahwa rata-rata tayangan televisi berkualitas atau tidak berkualitas. Survei ini tidak akan memberi informasi tentang problem kualitas tiap tayangan televisi secara spesifik, yang justru dibutuhkan profesional media. Beda halnya dengan metode rating yang memberi umpan balik penonton pada profesional media yang berupa tingkat atensi publik pada tiap program. Tidak hanya harian, rating bahkan mengukur atensi publik dalam hitungan menit. Dengan begitu, rating memberikan informasi pada produsen media mengenai bagian tayangan mana saja yang mendapat perhatian paling banyak dari publik. Berbekal data rating tersebutlah evaluasi atas tayangan dilakukan.
Artinya, untuk bisa menjadi acuan bagi profesional media, sebuah pengukuran harus mampu memberi umpan balik yang jelas dari penonton. Sementara itu, umpan balik penonton yang berguna bagi upaya peningkatan kualitas tidak mungkin dihasilkan lewat survei indeks kualitas siaran. Tanpa umpan balik yang jelas, tak peduli menyoal kuantitas atau kualitas, survei ini hanya memberi penghakiman tanpa potensi untuk dijadikan acuan perbaikan.
Sulit sekali membayangkan bagaimana survei indeks, yang hanya bisa memberi informasi mengenai kondisi umum, bisa menjadi acuan produser televisi. Apabila kualitas sebuah sinetron dinyatakan masih jauh dari standar kualitas KPI misalnya, pertanyaan selanjutnya seorang produser ketika membaca survei ini adalah: “bagian mana dari sinetron saya yang tidak berkualitas?”
Tanpa mampu menjawab pertanyaan tersebut, survei KPI ini tidak bisa menjadi cermin atau tolak ukur keberhasilan sebuah tayangan untuk mencapai kualitas yang diharapkan. Jika survei ini dijadikan cermin bagi kondisi kualitas tayangan televisi kita, ia hanya jadi cermin yang buram.
Kekaburan survei ini juga disumbang oleh inkonsistensi metodologi yang digunakan. Hal ini bisa diidentifikasi melalui pemilihan responden yang dikategorikan sebagai responden “ahli”. Mereka yang ahli dalam survei ini ditentukan oleh dua indikator, yaitu pekerjaan dan profesi. Responden minimal berpendidikan SMA dan berlatar belakang profesi; seperti Ibu RT, pendidik, aktivis/LSM, mahasiswa, tokoh adat, wartawan, karyawan, TNI/Polri, Wakil Rakyat, dan seterusnya.
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa ahli ditentukan lewat tingkat pendidikan dan pekerjaan? Asumsi apa yang melatarbelakanginya? Apa hubungan pemilihan ini dengan tujuan penelitian?
Sebagai survei yang ditujukan untuk menilai kualitas tayangan, definisi responden ahli mestinya mengacu pada kemampuan untuk menilai sebuah tayangan. Kategori “ahli”, dalam benak saya, mestinya diisi oleh psikolog, ahli komunikasi, videografer, dan banyak lainnya. Para “ahli” ini mestinya adalah orang-orang yang dapat memberikan keragaman perspektif mengenai kualitas tayangan. Sayangnya, ahli dalam definisi survei KPI merujuk pada, “orang yang mengikuti (menonton) televisi dan bisa memberikan penilaian atas program televisi”. Masalahnya, siapa pun bisa menilai kualitas tayangan, dan bukan berarti mereka “ahli”.
Kompetensi responden untuk menilai tayangan menjadi semakin penting ketika “kualitas siaran” dalam survei ini didefinisikan secara normatif. Misalnya, fungsi penyiaran diidentifikasi dengan beberapa poin indikator, antara lain; bersifat edukatif; informatif; menjadi perekat sosial; hiburan yang sehat; berkebudayaan; dan berfungsi sebagai kontrol sosial. Tidaklah mudah untuk menilai apakah fungsi-fungsi tersebut terkandung dalam sebuah tayangan, apalagi mengenalinya dalam berbagai format tayangan yang berbeda-beda. Misalnya, bagaimana mengenali fungsi “edukatif” dalam sinetron? atau mengenali fungsi “membangun mental mandiri” dalam infotaiment?
Konsep “edukatif” dan “membangun mental mandiri” dalam survei ini ditempatkan sebagai indikator. Ini jelas cacat metodologi yang serius. “Edukatif” dan “membangun mental mandiri” bukanlah istilah yang operasional. Keduanya adalah konsep yang abstrak, kita perlu terlebih dahulu mempreteli dimensi apa saja yang ia cakup, agar bisa dipakai mengukur sebuah tayangan. Apalagi, konsep-konsep besar tersebut diukur dari sampel tayangan yang masing-masing berdurasi 7-10 menit. Apakah mungkin? Sulit rasanya percaya bahwa semua responden dalam survei ini memiliki persepsi yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan “edukatif” dan, terlebih lagi, mampu mengenalinya hanya dalam potongan tayangan berdurasi 7-10 menit.
Kegagalan survei ini dalam membedakan konsep, dimensi, variabel, dan indikator, adalah persoalan yang memprihatinkan. Pasalnya, survei ini dikerjakan KPI bersama ISKI (Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi), sebuah lembaga yang menaungi banyak professional dan akademisi komunikasi.
Melalui kerangka metodologi yang digunakan dalam survei ini, kita pun bertanya-tanya: “apa yang sebenarnya dikehendaki KPI?” Apakah KPI ingin membuat survei kualitas yang mengacu pada responden ahli atau membuat rating kualitatif berdasarkan persepsi khalayak atas kualitas tayangan?
Kegamangan ini menjadi kian jelas ketika responden survei ini adalah 810 orang yang tersebar di 9 kota (Denpasar, Banjarmasin, Ambon, Medan, Makasar, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta). Apa dasar memilih sembilan kota ini? Apakah 810 orang yang menjadi sampel tersebut dipilih dari populasi ahli (mengacu definisi KPI) di setiap kotanya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sayangnya tidak terjelaskan dalam laporan penelitian yang dirilis KPI.
Jelas sudah bahwa ada jurang lebar yang memisahkan tujuan survei ini untuk menjadi acuan alternatif di satu sisi, dan pilihan metodologi dalam pelaksanaannya pada sisi lain. Alih-alih menjadi cemin bagi profesional televisi, survei ini tak lebih dari monumen pengingat bahwa kualitas siaran televisi tidak berkualitas. Jika hanya ini tujuannya, untuk apa membuat survei? Bukankah dengan segudang sanksi yang selama ini dikeluarkan KPI pada stasiun televisi sudah cukup jadi bukti?
Memang, rating AGB Nielsen yang selama ini jadi acuan stasiun televisi bukan tanpa masalah. Belakangan beberapa stasiun televisi dan gerakan masyarakat sipil mempertanyakan metode dan akuntabilitas pengukuran rating yang dilakukan AGB Nielsen. Pasalnya, semenjak bernama Survei Research Indonesia (SRI) di tahun 1976 hingga hari ini, kita tak pernah mendengar ada audit yang dilakukan lembaga publik pada AGB Nielsen. Nielsen juga memonopoli pengukuran rating di Indonesia tanpa adanya lelang yang dilakukan secara berkala. Situasi ini terang sangat mengkhawatirkan.
Situaasi ini tak bisa dijawab dengan survei KPI. Sekalipun survei KPI dilakukan dengan kerangka metodologi yang lebih baik, akan sulit berharap survei kualitas semacam ini akan menjadi acuan profesional televisi. Pasalnya, tak ada keharusan logis bagi profesional televisi untuk mengacu pada “kualitas”. Televisi kita masih menjadikan rating satu-satunya ukuran yang sah untuk evaluasi program. Begitu juga dengan perusahaan pengiklan. Ratinglah dasar bagi perusahaan iklan dalam menentukan pemasangan iklan. Atas dasar rating jugalah, prestasi kerja awak media diukur, bonus ditentukan, dan promosi jabatan dilakukan. Akhirnya, usaha membuat acuan alternatif selain rating oleh survei KPI ini adalah kesia-siaan belaka, dan menghamburkan 7 miliar anggaran negara.
Alih-alih memproduksi survei indeks kualitas, akan lebih produktif jika KPI menjalankan fungsi utamanya sebagai pengawas isi siaran, suatu fungsi yang ironisnya tidak dikerjakan KPI secara maksimal. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar