Dokumen visi-misi Jokowi-JK, yang sangat terang-benderang mengusung Trisakti, mungkin sudah dimasukkan ke laci dan dilupakan.
Buktinya, sudah hampir setahun berkuasa, kerja-kerja pemerintah Jokowi-JK tidak menunjukkan semangat Trisakti. Sebaliknya, pemerintah all out untuk memanggil investor asing agar berduyun-duyun menanamkan modalnya di Indonesia.
Kerja Jokowi tidak sia-sia. Laporan World Investment Report 2015 menyebutkan, penanaman modal asing (PMA) di Indonesia tumbuh 20 persen. Angka itu menempatkan pertumbuhan PMA di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Tetapi, rupanya, itu belum cukup. Sejak beberapa bulan lalu, Jokowi menggelontorkan banyak sekali kebijakan untuk menarik minat investor asing. Di antaranya: pemberian insentif pajak seperti tax allowance dan tax holiday.
Tidak cukup juga, dengan dalih menghadapi krisis ekonomi, Jokowi meluncurkan paket deregulasi. Tujuannya paket deregulasi itu adalah menghilangkan semua aturan hukum/birokrasi yang merintangi kebebasan dan kepentingan investasi. Ada ratusan regulasi yang dianggap merintangi investasi dirombak.
Belum cukup juga, melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid II, pemerintah memberikan layanan cepat dalam pemberian izin investasi dalam waktu tiga jam di Kawasan Industri. Juga dukungan berbagai insentif dan fasilitas untuk memudahkan investor memulai dan menjalankan bisnisnya.
Terlihat jelas, Jokowi menjadikan investasi sebagai panglima dalam kebijakan ekonomi dan politiknya. Semua kebijakan ekonomi dan politik diabdikan pada kepentingan investor. Sekalipun, banyak di antara kebijakan itu yang merugikan kepentingan nasional dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Melihat fenomena di atas, saya teringat pada risalah Sukarno di tahun 1933. Risalah itu berjudul: Mencapai Indonesia Merdeka. Melalui risalah itu, Sukarno membedah esensi dan kejahatan imperialisme modern terhadap rakyat Indonesia. Di bagian kedua risalah itu dia bercerita tentang imperialisme yang menyerupai “Rahwana Dasamuka yang bermulut sepuluh.”
Di bagian itu Sukarno menulis: “Sejak adanya openduer-politik (baca: politik pintu terbuka) di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rezeki di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional karenanya. Raksasa biasa yang dulu berjengkelitan di atas padang kerezekian Indonesia, kini sudah menjadi Rahwana Dasamuka yang bermulut sepuluh.”
Menarik juga analogi “dasamuka bermulut sepuluh” ini. Dalam mitologi Hindu, Rahwana atau Dasamuka digambarkan sebagai raksasa yang sangat jahat. Dengan analogi itu, Sukarno mau menggambarkan bahwa imperialisme adalah sistim ekonomi-politik yang sangat jahat.
Dalam risalahnya itu, Soekarno mengulas panjang lebar tentang perbedaan imperialisme kuno dan modern. Imperialisme kuno, yang mengambil bentuknya pada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan proyek Cultural Stelsel, di samping bersandar pada cara produksi kuno dan kecil-kecilan, juga mengandalkan kekerasan dan perampasan dalam proses akumulasinya. Pada masanya, kata Sukarno, imperialisme modern hanya menjadikan Indonesia sebagai tempat pengambilan barang-barang, terutama pala, cengkeh, merica, kayu manis, dan nila.
Sedangkan imperialisme modern menggunakan pendekatan yang ‘halus’ dan ‘sopan’, dengan empat ciri pokoknya: pertama, menjadikan Indonesia sebagai tempat pengambilan bekal hidup; kedua, menjadikan Indonesia sebagai negeri tempat pengambilan bekal-bekal (bahan baku) bagi pabrik-pabrik di Eropa; ketiga, menjadikan Indonesia sebagai pasar penjualan barang-barang hasil dari berbagai industri di Eropa; dan keempat, menjadikan Indonesia sebagai tempat atau lapang usaha bagi penanaman modal asing.
Sukarno menandai ciri yang keempat, yaitu penanaman modal asing, sebagai bentuk paling nyata dari imperialisme modern. Penanaman modal asing itu terjadi, kata Sukarno, karena negara-negara imperialis mengalami surpluskapitaal (kelebihan kapital), sehingga memerlukan daerah baru untuk exploitatiegebied-nya (lahan eksploitasi).
Jika di masa imperialisme kuno yang dominan adalah kapital VOC atau Belanda, maka di masa imperialisme modern kapitalnya berasal dari berbagai negara: Inggris, Jerman, Jepang, Perancis, Italia, dan lain-lain. Ini terjadi lantaran penerapan Agrarische wet (Undang-Undang Agraria) dan Suiker wet (Undang-Undang Gula), di tahun 1870, yang membolehkan modal partikelir (swasta) masuk ke Hindia-Belanda. Lalu, di tahun 1905, Belanda memberlakukan politik pintu terbuka (opendeur politiek), yang membebaskan modal dari berbagai negara masuk ke Hindia-Belanda.
Di zaman itu, lapangan utama penanaman modal asing adalah sektor perkebunan. Tak mengherankan, tanah Hindia-Belanda kala itu disesaki oleh onderneming-onderneming: onderneming kopi, onderneming kina, onderneming tembakau, onderneming sereh, dan lain-lain.
Yang terjadi, ungkap Sukarno, setelah onderneming itu berproduksi, hasilnya diekspor ke pasar dunia. Walhasil, Hindia-Belanda menjadi pengekspor besar jaman itu. Bahkan, nilai ekspornya lebih besar dari impornya. Perbandingannya, berdasarkan catatan Sukarno, adalah yakni 220,4/100. Artinya, bagi Sukarno, lebih banyak barang atau kekayaan Indonesia yang mengalir keluar.
Dia menulis: “bahwa Indonesia adalah terutama sekali tempat penanaman modal asing, yang niscaya barang hasilnya lalu dibawa keluar; bahwa Indonesia dus dihinggapi imperialisme yang terutama sekali mengekspor, imperialisme yang di dalam masa yang normal rata-rata dua kali jumlah harganya rejeki yang ia angkuti ke luar daripada yang ia masukkan ke dalam; bahwa Indonesia dus sangat sekali menderita drainage.”
Namun, ketika ekspor dari onderneming-onderneming itu mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda, adakah yang menetes pada rakyat setempat? Sukarno menjawab: mereka tambah melarat. Jika di zaman normal, yaitu era ketika ekspor Hindia-Belanda masih berjaya, pendapatan kaum marhaen tidak lebih dari 8 sen sehari. Lalu, ketika ekspor Hindia-Belanda jatuh, yang sering disebut zaman meleset (malaise), pendapatan kaum marhaen merosot menjadi 2,5 sen (sebenggol) sehari.
Sukarno menggambarkan duka kaum marhaen di bawah penindasan modal asing sebagai berikut: “Aduhai,— dan didalam zaman air-mata ini, di mana Marhaen terpaksa hidup dengan sebenggol seorang sehari, di mana beban-beban yang harus dipikul Marhaen semakin menjadi berat, di mana menurut verslag voorzitter Kleine welvaartcommissie penghasilan dari perusahaan-perusahaan kecil di desa-desa dan di kampung-kampung sudah turun dengan 40 sampai 70%, di mana kesengsaraan sering membikin Marhaen menjadi putus-asa dan gelap mata, sebagai ternyata dari kabar-kabar di atas, — di dalam zaman air mata ini Marhaen di tanah Jawa masih harus memelihara juga hidupnya ribuan orang kuli kontrakan, yang dipulangkan dari Deli dan lain sebagainya zonder tunjangan sepeserpun jua, yang seolah-olah untuk membuktikan isinya peribahasa: “habis manis sepah dibuang.” Ya, semelarat-melaratnya Marhaen, maka Marhaen selamanya masih ridla membahagi kemelaratannya itu dengan orang yang lebih melarat lagi daripadanja.”
Begitulah. Imperialisme modern, yang dianalogikan dengan Dasamuka bermulut sepuluh, telah mengorbankan nasib rakyat Hindia-Belanda.
Sekarang, rakyat Indonesia mengalami nasib yang kurang lebih sama. Malahan, jika dulu dasamuka itu bermulut sepuluh, maka sekarang sudah bermulut seratus. Dan ironisnya, dasamuka bermulut seratus itu sengaja dipelihara oleh pemerintahan yang wajah dan warna kulitnya sama persis dengan kita.
Mahesa Danu
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-analogi-dasamuka-bermulut-sepuluh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar