Senin, 26 Oktober 2015

Surat untuk Sri

Sri,

Sekarang pukul 00.22 dinihari. Tadi sore di sini mendung, tapi tidak hujan. Malam ini cuaca agak panas, sehingga aku harus melepas singlet yang basah oleh keringat. Seperti itulah, ini musim pancaroba. Panas dan hujan datang silih berganti. Kadang dingin menggigil, lalu tiba-tiba gerah membakar.

Kipas terus menguar di atap kamar. Kian lama bunyinya tambah bising, memecah kesunyian pagi. Aku masih tetap terjaga. Mata ini enggan pejam. Malah, malas memejam. memang besok ada tentamen, tapi yang jelas aku terjaga bukan karena itu. Lima buah buku yang tadi siang kubaca di perpustakaan sudah cukup untuk menghadapi tentamen besok.

Beberapa koran dan majalah berserak di lantai, baru saja selesai dibaca. Sebenarnya ada tiga buku yang kemarin dipinjam yang bisa dibaca, untuk menemani jaga pagi ini. Tapi malas. Biasanya aku suka membunuh waktu dengan main catur sendiri. Ya, aku suka berpura-pura menjadi dua orang yang berbeda di belakang papan catur. Tapi, melakukan itu dinihari ini sepertinya menjenuhkan.

Akhirnya, aku menulis surat ini, dengan iringan lagu di radio. Kamu masih ingat lagu Charles Aznavour, “She”? Lagu ini keluar ketika kita masih duduk di kampus kita dulu. Beberapa hari ini aku baru bisa menyukainya. Entahlah, untuk hal-hal yang berkaitan dengan hiburan kayaknya aku memang selalu terlambat mengapresiasi. Lagu ini, misalnya. Aku ingat, dulu teman-teman kita sering menyanyikan lagu ini kalau sedang berkumpul. Bayangkan, aku baru bisa menyukainya sekarang, setelah hampir sepuluh tahun berjalan.

Tapi aku tertarik pada lagu itu mungkin bukan karena lagunya itu sendiri. Suasana saat inilah yang membuat lagu tadi menarik. Seperti pagi ini: suasana sepi, mata yang masih nyala, jauh darimu, membuat syair-syair lagu tadi menjadi terasa menyentuh.

Sri, barangkali kamu sudah terbenam dalam selimut tebalmu saat ini. Dan kamu memang harus sudah tidur, karena besok mungkin akan ada banyak aktivitas yang harus kamu kerjakan. Apa saja yang menyibukanmu akhir-akhir ini? Sibuk sekali, sibuk, atau bagaimana? Bagaimana arisan di kampung? Bagaimana kabar mahasiswa-mahasiswamu, masihkah mereka gemar bikin ulah di kelas, yang membuat mereka tak ada bedanya dengan siswa taman kanak-kanak, seperti pernah kamu bilang?

Tapi tentunya kamu begitu sibuk. Sebab, belum sepotong tuturpun kau kirim. Tapi sudahlah. Barangkali itu tak penting. Yang penting, semoga kamu bisa menjalani semua itu dengan baik. Kamu memang selalu begitu, sejak dulu.

Sri, setiap hari aku masih selalu ketemu Veblen. Kamu tahu, di kampusku kini ada tempat paling sorga. Di bawah keriaman pohon, ada bangku-bangku bata dimana kita bisa duduk melamun, membaca, berpikir, atau berbaku bahak bersama kawan-kawan. Tempatnya di depan gedung perpustakaan tua. Setelah atau sebelum bercakap dengan Veblen aku suka berteduh di sana. Cicit burung, serta semilir angin yang membuat daun-daunan berbisik lirih, sangat mengingatkanku pada kampung kita.

Aku senang berlama-lama di gedung perpustakaan tua itu. Menurutku, itu tempat yang menawan, karena di antara kepungan rak aku bisa duduk berselonjor pada karpet-karpet merah yang menghampar. Jikapun malas membaca, di balik rak-rak dan tiang gedung aku bisa duduk atau berbaring mendengkur tidur siang. Tak masalah. Penjaga perpustakaan sudah mafhum.

Selepas menghadiri kelas aku selalu ketemu Veblen di sana. Sesiangan kami akan berdiskusi dan bertukar cerita panjang lebar. Dia teman berbincang yang nyaman. Kadang kita membincangkan topik yang sama berhari-hari. Kadang dia juga hanya diam menyaksikan aku berbincang dengan teman-teman seruangannya yang lain. Mereka mengajari aku lebih banyak ketimbang guru-guru di fakultas. Makanya, aku lebih suka berada di sana ketimbang ikut beberapa kelas yang menyebalkan. Jika tak ada kelas, atau tak ada janji dengan pembimbing, aku bisa lebih pagi menemui mereka. Selalu, dengan buku bersampul merah dan sebotol air minum, aku tahan berbincang berjam-jam dengan mereka. Tapi, terutama Veblen yang membuat aku kerasan di sana.

Hal yang paling memikatku, semenjak dulu, adalah ketika menyaksikan para guru sepuh berbaku dalih tentang pandangannya masing-masing. Mendengar mereka bertukar cakap dan beradu tangkas, rasanya seperti menghadapi hidangan makan yang sangat mewah. Terasa mewah, karena aku tak pernah membayangkan bisa kenal dan masuk dalam kehidupan mereka, menikmati lezatnya berpikir.

Aku jadi ingat, dalam pedagogik, tugas seorang guru bukanlah mentransfer pengetahuan pada murid-muridnya. Tugas seorang guru adalah menularkan karakter pada murid-muridnya, seperti pernah diceramahkan Bung Karno dulu, Sri. Jika seorang murid sudah tertular watak gurunya, maka dia akan berpikir dan berpandangan seperti gurunya. Dia akan belajar seperti gurunya. Dan dengan bekal watak bawaannya, sang murid bisa melengkapi kekurangan watak gurunya tadi, sehingga ia bisa menemukan jati dirinya sendiri. Pada akhirnya, dengan proses itu, setiap murid akan bisa lebih baik dan maju ketimbang gurunya.

Itulah kenapa dulu para calon pujangga dan kesatria harus menjadi cantrik lebih dulu, tinggal bersama dan melayani gurunya. Dari sana mereka diajar dan belajar memahami gurunya, memahami ilmunya, meniru lakunya. Peniruan adalah tahapan belajar paling mula. Meniru adalah melakoni. Dengan melakoni, si murid tak hanya sekadar tahu, melainkan juga bisa meresapi arti, menangkap makna. Sebagai cantrik mereka tak hanya dituntut jeli menerima ajaran verbal, melainkan juga menangkap kias. Sebab, bukankah dunia tak hanya dibangun oleh realitas ragawi yang nyata, melainkan juga oleh realitas mental yang abstrak? Di padepokan-padepokan, nun di lereng-lereng gunung sana, mereka belajar memahami keduanya, dengan tinggal dan melayani gurunya.

Di pojok rak-rak yang berserak, aku juga seperti merasa sedang berguru, belajar mencantrik, Sri. Ah, kamu sudah tahu itu. Aku tak hanya sedang berhadapan dengan labirin aksara, tapi sedang bercakap dan bersenda gurau dengan para empu jaman silam. Membaca adalah sebentuk percakapan. Lewat teks-teks itu, aku bercakap dan bercengkerama dengan mereka. Menyatu dalam persekutuan pikiran.

Jika hari telah petang, aku akan berpindah tempat, Sri. Jelang petang aku sudah menyusuri trotoar kampus, berjalan 1,5 km ke arah selatan, menuju gedung perpustakaan kota. Ah, itu juga sebuah gedung tua, Sri. Di sana aku menemui perkumpulan para guru lainnya. Aku sering mengundang mereka bertandang ke kamarku.

Semua itu, tempat yang teduh dengan cicit burungnya, gedung tua dengan deretan rak-rak tuanya, para penjaga yang murah tersenyum, serta kursi-kursi bata yang selalu setia menunggu, demikian menyenangkan untuk disambangi setiap hari. Aku menyukai semua itu. Tapi tahukah kamu, Sri, kalau boleh memilih, aku lebih bahagia kalau kau berada di dekatku ketimbang semua itu.

Tak ada yang lebih menyenangkan selain menyaksikan kau tersenyum, melihat deret putih gigimu. Menatap rupamu, aku akan geli menyaksikan kau selalu berusaha berbohong. Ya, kau akan selalu berusaha berbohong dengan cara yang primitif mengenai isi hatimu. Kau akan menyembunyikan bungkul-bungkul kerinduan, menutupi semua histeria, juga kerapuhanmu. Tapi matamu memberi tahu semuanya. Semakin kamu berbohong, semakin jujur kau terlihat. Kau tahu, kegenitanmu selalu mengusik kesendirianku. Aku rindu tatapmu. Aku rindu lirihmu. Aku rindu semua kekurang-ajaranmu kepadaku.

Obrolan-obrolan panjang dengan Veblen bisa jadi sebenarnya karena aku enggan terlalu merindukan semua itu jika sendiri. Karenanya, aku tak letih menapaki trotoar kota ini, menjelajahi semua sudut kampus, menemui banyak empu dan guru. Jika sedang termangu di kursi-kursi bata itu, sesekali aku seperti melihatmu. Hanya Veblen yang bisa membuat aku tak larut dalam ilusi batin. Dia akan memanggil dari dalam gedung, menyegerakan aku masuk.

Mereka sering bertanya tentang dirimu, Sri. Ah, itu pertanyaan yang menyenangkan. Karena, dengan begitu aku bisa bercerita tentang dirimu. Kerinduanku akan sedikit terobati setelah itu. Kamu tahu, mereka selalu titip salam buatmu.

Mereka baik sekali. Mereka akan menghibur begitu melihat kekasihmu ini mulai murung. Paman Paul akan menghibur dengan ketajamannya menangkap bermacam paradoks dalam keseharian, yang jika dicermati memang lucu. Begitu pula sindiran Si Tua Heilbroner yang selalu saja memikat. Dia selalu bisa menemukan kesalahan dari tempat paling tersembunyi sekalipun. Gosipnya ganjil dan akurat. Veblen sendiri tak kalah kocak, dengan kecerdasannya yang selalu bisa menelanjangi teman-temannya. Mereka menghibur aku dengan caranya masing-masing. Aku hanya tersenyum menyaksikan perhatian mereka yang begitu besar.

Aku berpikir, mungkin kamu di sana juga mengalami hal yang sama, membutuhkan perhatian yang serupa. Aku tidak tahu, apakah di sana ada yang bisa menghiburmu semacam guru-guruku di sini? Apakah di sana ada bangku-bangku bata tempat kamu bisa termenung dan mendengar suara-suara alam? Apakah di sana ada semacam trotoar yang panjang dimana kamu bisa melepas segala beban, meninggalkan jejak-jejak dan menciptakan jejak baru?

Pujaanku, aku merindukanmu.

Meski ada yang bisa menghiburku di sini, yang paling menentramkan adalah jika kamu berada di dekatku. Bersitatap dengan belahan hati takan pernah bisa tergantikan, oleh apapun. Aku rindu kamu, Sri.

Dinihari, 02.26.


Sastrodarsono

Sumber: Nun Poem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...