Selasa, 13 Oktober 2015

Seandainya Salim Kancil Hidup di Zaman Nabi

Selepas peristiwa berdarah 65, kekejian demi kekejian seolah-olah menjadi lumrah di Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi berulang-ulang. Gereja-gereja dibakar, Jemaat Ahmadiyah diserang, Syiah diusir dari kampung halamannya, buruh-buruh diintimidasi ketika menuntut hak-haknya, petani dijarah tanahnya oleh korporasi dan tentara. Seperti tak cukup, beberapa hari yang lalu kabar mengerikan lain sampai kepada kita: dua pejuang agraria, Tosan dan Salim Kancil dianiaya. Nama terakhir meregang nyawa dalam pembantaian yang sulit dibayangkan oleh akal sehat manusia.


Tidak ada yang berubah setelah peristiwa tersebut. Aparat tetap diam, menunjukkan ke-tawadhu-an pada pemodal dan korporasi. Ormas-ormas Islam yang sehari-hari mendakwahkan doa-doa penangkal kesedihan dan penderitaan, tak terkecuali NU dan Muhammadiyah, lenyap bak ditelan bumi. Kalau sudah demikian keadaannya, kita tentu bertanya-tanya. Masih mungkinkah keadilan terwujud di negeri ini?

Dari pada menjawab pertanyaan yang sulit dikarang jawabannya itu, saya ingin mengajak Anda beranda-andai. Ini terkait dengan lenyapnya ormas-ormas islam pasca terbunuhnya Salim Kancil–lebih jauh, lenyapnya mereka yang bak pengecut itu di hadapan berbagai ketidakadilan dan kekejian yang menimpa rakyat. Saya tidak akan mengajak Anda berandai-andai pada hal lain, semisal politik. Selain tidak perlu, bukankah busuknya pertai politik, ketidakpedulian penguasa dan kekejian militer pada rakyat salah satunya disebabkan oleh membebeknya ormas-ormas islam pada mereka?

Mari kita bayangkan, seandainya Nabi Muhammad SAW hidup di zaman ini. Atau kita balik. Seandainya Salim Kancil hidup di zaman Nabi. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh Nabi? Apa yang akan terjadi pada Salim Kancil?

Konon ketika Nabi diberi kabar oleh sahabat Abu Bakar bahwa ia telah membeli budak Bilal sekaligus menyelamatkannya dari cengkeraman siksaan Tuannya, Nabi menawarkan bantuan uang tebusan pembebasan Bilal bin Rabbah meski Abu Bakar telah menebusnya. Atau ketika komunitasnya terancam Nabi mengangkat senjata. Di hadapan kezaliman dan kekejian yang menimpa umatnya, rakyatnya, Nabi tidak ongkang-ongkang kaki saja, Nabi melawan dengan segala cara. Ini berbeda dengan ketika Nabi dilempari kotoran dan dihardik di Thaif. Nabi tak mengambil sikap apa-apa. Malah justru mendoakan orang-orang yang menghardiknya, agar Allah mengampuni mereka. Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’lamun, demikian doa Nabi. Artinya, seandainya Salim Kancil hidup di Zaman Nabi, atau Nabi hidup di zaman Salim Kancil, tentulah hari ini ia masih hidup. Setidak-tidaknya ia akan mendapat pembelaan, atau kita akan mendapati murka Nabi yang melihat umatnya tidak berdosa dibantai semena-mena.

Sayangnya Salim Kancil tidak hidup di Zaman Nabi, dan sebaliknya. Dan tindakan etis Nabi dalam membela hidup dan kehormatan umatnya yang teraniaya hari ini tidak diteladani oleh ormas-ormas islam. Tidak seperti Nabi yang langsung bertindak ketika mendengar sahabat Bilal bin Rabbah sedang disiksa dengan ditindih batu panas ditengah gurun pasir yang panas, ormas-ormas islam di Indonesia malah lari entah ke mana dari perjuangan sosial masyarakatnya. Pada akhirnya kita dipaksa memaklumi ketika kawan-kawan buruh, misalnya, meminta dukungan perjuangan menuntut upah layak pada salah satu ormas Islam di tingkat kabupaten, sang ketua ormas Islam tersebut menampiknya sembari mengatakan bahwa tugasnya adalah syiar Islam mengajak orang berbuat baik bukan membela upah layak buruh—seolah ia lupa bahwa membela buruh yang dizalimi adalah kebaikan yang dianjurkan Islam itu sendiri. Pun ketika beberapa hari yang lalu Salim Kancil dibantai dengan kejinya karena memperjuangkan haknya.

Negeri ini memang aneh. Di negeri yang gemar promosi perdamaian ini kekejian demi kekejian didiamkan begitu saja dan tak ada yang melawannya. Bahkan kekejian warisan Orde Baru Soeharto tersebut seringkali mendapatkan sokongan legitimasi teologis dari ormas-ormas Islam yang mengatakan bahwa taat pada pemerintah merupakan ajaran Islam yang tak bisa dibantah dan ditawar-tawar. Di sini tampak kegagalan menafsir ajaran Islam mengenai ketaatan terhadap pemimpin. Taat pada pemimpin haruslah dimaknai sebagai ‘ketaatan bersyarat’. Rakyat wajib taat pada pemerintah sejauh pemerintah menjalankan amanat penderitaan rakyat. Jika tidak rakyat berhak untuk mencabut mandatnya atau menggugatnya.

Maka wajar kalau dalam perjuangan warga Rembang menolak pendirian Semen Indonesia tidak ada ormas Islam yang secara resmi memberi dukungan. Mereka abai bahwa regulasi, kebijakan-kebijakan pembangunan di negeri ini seringkali mencelakakan rakyat ketimbang menyejahterakannya. Mereka lupa, meski pemerintahan ini sah namun sejatinya melayani sekelompok birokrat dan oligarki tengik yang menghisap aset negara. Bahkan secara faktual negara kerap terlibat praktek-praktek koersif dan otoriter untuk memastikan rencana-rencana pembangunan yang berorientasi pasar dan merugikan kepentingan nasional.

Yang mesti disadari oleh semuanya, khususnya NU dan Muhammadiyah adalah kenyataan sejarah Indonesia sebagai sejarah penghisapan yang tak ada ujungnya. Berdasar data Salamudin Daeng dalam Institute Global Justice (IGJ), di masa Raffles (1811) pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal 45 tahun; di masa Hindia Belanda (1870) hanya boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun; dan di masa Susilo Bambang Yudhoyono (UU 25/2007) pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun. Teritorial Indonesia (tanah dan laut) telah dibagi dalam bentuk KK Migas, KK Pertambangan, HGU Perkebunan, dan HPH Hutan. Total 175 juta hektar (93% luas daratan Indonesia) milik pemodal swasta/asing. Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju.

Kegagalan kita memahami kondisi ini bisa jadi akibat merebaknya ulama yang menerjemahkan Islam secara superfisial yang tanpa disadari, menggerogoti nilai-nilai pejuangan sosial dalam Islam. Ulama yang menghadirkan Islam sebatas agama ritual dan pamer kesalehan individual. Pada titik ini prinsip keadilan dalam Islam tak lagi dibicarakan selain ribut berdebat soal jenggot, sorban dan hijab, dan sibuk menunjukkan kalau Islam itu damai dan baik namun tak punya konsepsi dan kontribusi bagi pembebasan rakyat dari ketertindasan.

Ormas-ormas Islam seharusnya (selemah-lemahnya iman) minimal mengeluarkan keputusan resmi mengutuk pembunuhan Salim Kancil. NU dan Muhammadiyah, sebagai ormas terbesar di Indonesia mestinya, selain mengutuk, juga menyerukan rakyat bangkit melawan kezaliman dan mendesak pemerintah segera menyelesaikan berbagai sengketa agraria di Indonesia karena yang menjadi korban kebanyakan adalah warga mereka. Atau MUI mengeluarkan fatwa haram penambangan yang berpotensi merusak lingkungan. Bukan hanya mengkapitalisasi ‘Sertifikat Halal’ yang diterbitkannya sebagaimana selama ini. Ormas-ormas Islam itu mestinya mulai sekarang berpikir untuk meninggalkan tabiat buruknya: enggan mengambil bagian dari perjuangan rakyat, dan malah tidak suka atau bahkan menuduh sesat dan komunis pada kelompok sekular yang mau ngopeni, mengorganisir, dan membimbing gerakan rakyat. Mereka juga harus menertibkan agamawan-agamawannya yang percaya propaganda TNI, sehingga menganggap setiap perjuangan menegakkan keadilan di negeri ini sebagai ulah Komunis Gaya Baru.

Barangkali tuntutan kita pada ormas-ormas Islam tersebut, pun NU dan Muhammadiyah, adalah berlebihan karena sejak pembunuhan Marsinah sampai Satinah mereka hanya diam saja. Walaupun begitu, diamnya ormas-ormas Islam itu tidak akan mengubah satu hal: bahwa kematian Salim Kancil tidak akan sia-sia. Ia boleh jadi telah syahid, bergabung dengan para syuhada perang badar. Tapi bagi kita, ia tidak pernah benar-benar mati. Ia masih hidup, ada dan akan terus berlipat ganda.

Sumber: Islam Bergerak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...