Rabu, 14 Oktober 2015

Surat untuk Celine

Celine,

Aku masih ingat bagaimana pertama kali jatuh cinta padamu. Hari itu, aku sesungguhnya hanya ingin menggodamu. Kamu tahu, caramu mengejekku, soal kemalasanku belajar bahasa, berhasil menarik perhatianku. Menurutku, ejekan selalu lebih berhasil memberi kesan daripada pujian. Dan kamu melakukannya dengan baik, hari itu, meskipun kamu mungkin tak memaksudkannya begitu.

Aku tahu, kamu memiliki hampir semua syarat menjadi seorang perempuan yang menarik, jadi mungkin telah ada banyak lelaki yang sudah berusaha meladenimu bercakap sebelum aku. Tentu saja, mungkin tak semuanya lelaki pintar yang bijak dan benar-benar menyenangkan. Tapi, bahkan lelaki paling bodoh dan brengsek sekalipun akan berusaha menjadi pintar, bijak dan menyenangkan jika bercakap denganmu. Itu karena kamu bisa menyihir mereka. Aku pikir, kamu mungkin sebaiknya harus berhati-hati dengan sihir itu. Tongkat sihirmu bisa membuat apa yang kamu dengar dan kamu lihat kemudian jadi hanya berisi apa yang kamu inginkan saja. Dengan begitu, kamu tak pernah benar-benar melihat mereka yang sebenarnya. Tapi, bukan itu yang ingin kusampaikan dalam surat ini. Aku benar-benar menikmati percakapan awal itu dan tak ingin berhenti meladenimu. Itu saja.

Bualanmu, soal pasangan tua yang makin lama makin kehilangan pendengarannya, selalu membuatku tergelak jika mengingatnya. Kamu bilang, semakin tua maka pria akan semakin kehilangan pendengaran terhadap suara-suara bernada tinggi, sementara perempuan akan semakin kehilangan pendengaran terhadap suara-suara bernada rendah. Jadi, semua pasangan tua yang sedang bercakap sebenarnya tak lain sedang berusaha saling meniadakan, karena mereka sesungguhnya tak lagi saling mendengarkan. Itu, kamu bilang, adalah cara alam agar setiap pasangan bisa menjadi tua bersama-sama tanpa saling membunuh. Ha ha ha, aku sungguh tergelak. Imajinasi yang jenaka.

Lalu tiba-tiba kita harus berpisah di stasiun itu. Entah bagaimana, meskipun grogi, aku jadi memiliki keberanian untuk mengatakan hal konyol itu padamu: “Hei, coba bayangkan begini, kamu melompat beberapa tahun ke depan, mungkin sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, dimana waktu itu kamu sudah menikah. Hanya saja, entah kenapa kamu tak merasa bahagia dengan pernikahanmu. Lalu, kamu mungkin mulai menyalahkan suamimu, dan pada saat yang bersamaan mencoba mengingat-ingat kembali masa lalu, tentang orang-orang yang pernah kamu temui, dan berpikir apa yang akan terjadi seandainya dirimu memilih salah satu di antara mereka? Dan aku adalah salah satu di antara orang-orang itu.”

Ah, tentu saja, aku harus membujukmu waktu itu. Kita baru saling kenal, baru saja memulai sebuah percakapan yang bertenaga, dan sebelum sebuah tarikan nafas habis tiba-tiba seperti dipaksa untuk menyudahinya. Aku masih ingat kata-kata terbaik yang bisa kuucapkan waktu itu, agar kita tak segera berpisah: “Jadi, anggap ini sebagai perjalanan waktu dari masa itu ke masa kini, untuk mengetahui apa yang mungkin telah kamu lewatkan hari ini. Ini akan menjadi sesuatu yang berarti bagimu kelak, untuk meyakinkan bahwa kamu tak pernah melewatkan apapun. Sebab, aku mungkin sama pecundangnya seperti suamimu waktu itu, hanya lelaki yang membosankan, tak punya motivasi, sehingga kamu akan merasa lebih baik karenanya, karena telah membuat keputusan yang tepat dengan tak memilihku.”

Ya, secara umum itu memang bualan. Mungkin, aku sebenarnya hanya ingin menggodamu. Tapi entahlah. Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja. Dan meskipun aku tak tahu persis apa yang akan terjadi setelah itu, dan juga setelah ini, aku tahu bahwa tak mengatakannya akan menjadi sebuah kesalahan besar. Aku tak bisa membayangkan hidup dengan menanggung kesalahan, dan kemudian penyesalan, semacam itu.

Aku tahu, menulis surat ini merupakan pelanggaran terhadap janji kita pagi itu. Tapi menunggu enam bulan tanpa melakukan apapun bisa membunuhku diam-diam. Ini tak semudah seperti dalam film-film yang pernah kutonton, atau seperti dalam novel-novel yang pernah kubaca. Maafkan aku melanggar janji itu dengan menyuratimu.

Celine, malam yang kita habiskan dengan percakapan itu adalah malam yang sangat menguras perasaanku. Aku merasa sepertinya telah menghabiskan seluruh energi masa mudaku bersamamu, malam itu. Tidak, itu tidak konyol. Kadang orang mengalaminya. Dan aku telah mengalaminya. Ada sejumlah hal dalam hidup yang tak datang dua kali. Dan aku merasa malam itu adalah salah satunya, bagi hidupku.

Ya, ya, ya, aku tahu kamu akan segera mengejek, dengan gaya aristokratmu yang khas Eropa, bahwa kamu pernah mengalaminya beberapa kali dengan beberapa orang. Ah, jahatnya kamu. Tapi itu bukan masalahku. Pada kenyataannya, aku memang hanya mengalaminya denganmu.

Tentu saja itu membuatku jadi tak punya pembanding. Tapi apa masalahnya dengan itu?

Ada banyak orang selama hidupnya tak pernah bepergian kemana-kemana. Mereka menghabiskan hidupnya di kampung halaman tempat mereka lahir, mencintainya dengan tanpa berpikir bahwa hidup mereka mungkin akan lebih bahagia jika dihabiskan di tempat lain. Namun, juga ada banyak orang yang pernah bepergian kesana kemari, berkeliling dunia. Keduanya tak menunjukkan apapun. Mencintai tanah kelahiranmu, tanpa dan/atau sembari tak kehilangan imajinasi mengenai tempat yang lain—ya, meski sekadar imajinasi—tak lebih memprihatinkan daripada orang yang sudah bepergian kemanapun tapi tak pernah benar-benar mencintai sebuah tempat sebagai rumahnya. Rumah yang bisa memulihkan tenaga, rumah yang bisa menyembuhkan luka-luka, dan rumah yang bisa sekaligus membuatmu tertawa dan menangis. Rumah yang selalu menyediakanmu pelukan dan tepukan di pundak.

Aku suka bepergian, tapi aku bukan pelancong. Kamu tahu persis itu. Hal yang membuatku jadi hampir benci pada seorang penyair yang dulu telah memperkenalkanku pada Sartre adalah karena kemudian aku mendapati bahwa dirinya adalah seorang flaneur, sang pengelana, sonder menemu, sonder mendarat, dimana ia me-raja-kan kenikmatan mengamati. Aku menganggap itu sebagai benar-benar produk gestabliseerde burgers, the leisure class. Penyair yang demikian tak pernah benar-benar berposisi, karena setiap waktu ia selalu akan bisa menyangkal posisinya.

Tentu saja, kamu akan mudah menuduhku konservatif, sama seperti kamu mengira bahwa aku mengejarmu hanya karena menganggapmu eksotik, karena dirimu adalah perempuan Perancis yang bawel namun jenaka. Tapi, aku memang selalu mencoba teguh pada prinsip-prinsip yang kuyakini, yang selalu akan membawaku pada posisi-posisi yang tegas dengan pembelaan yang juga verbal. Barangkali itu sebabnya aku tak bisa jadi politisi atau jurnalis, seperti kamu bilang. Dan kenyataannya memang begitu. Aku tak gampang mengalihkan perhatian dan mengubah pilihan. Itu tak selalu buruk, meski juga tak selalu baik.

Ya, aku tak bisa menjadi flaneur. Mungkin aku lebih nyaman menjadi semacam posisi William Faulkner ketika dalam sebuah wawancara ia mengatakan bahwa jawaban atas suatu pertanyaan dapat berubah manakala pertanyaan yang sama ditanyakan keesokan harinya. Setiap penyair akan terus memperbarui puisinya setiap kali mereka akan menerbitkan ulang karyanya. Tapi itupun tak bisa berlaku untuk semua hal, terutama untuk menjadi prinsip dalam membangun relasi. Menurutku, kita hanya bisa mengejar ufuk kemungkinan dalam soal karir, tapi tidak pada hal memilih pasangan. Barangkali nasib kita mungkin akan berakhir seperti puisinya Eliot, “The Waste Land”. Eliot harus merelakan banyak bagian dari puisinya terpenggal, yang membuat hatinya terluka, namun orang-orang malah memujanya sebagai mahakarya. Kadang, begitulah hidup. Bagaimana kita akan menilainya? Hidup yang kejam? Atau hidup yang misterius?

Tahukah kamu, ketika kita berpisah pagi itu, yang menyudahi percakapan-percakapan yang membuatku tumbuh, aku selalu teringat pada puisi seorang dramawan Indonesia yang pernah menggelandang di New York, “kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca.” Dan aku bisa mati diam-diam untuk menunggu terlalu lama bagian lain yang sebelum selesai kubaca itu.

Aku duduk di bandara, pagi itu, membaca majalah lama, menikmati secangkir kopi sembari bersedih… karena kamu tak turut denganku. Seperti kubilang malam itu, aku akan memilih menikahimu, meskipun kamu ternyata adalah monster yang sanggup membunuhku, daripada memilih tak pernah ketemu lagi denganmu.

Ya, kamu adalah perempuan Perancis yang tinggi hati. Aku tahu itu. Bahkan, ketika kita berpisah pagi itupun, kamu masih bisa bilang bahwa kamu mungkin akan turun di Salsburg bersama dengan pria lain. Ah, Celine… Apa kamu menganggapku hanya pria Amerika bodoh yang hinggap sejenak dalam hidupmu?! Tapi aku tahu kamu hanya berkelakar pagi itu, mungkin untuk melemaskan perasaan yang mulai mengetat. Aku harap begitu.

Pertemuan kita adalah irisan yang agak ganjil. Aku terbang melintasi Atlantik untuk bertemu Lisa, pacarku, di Madrid. Tapi perjalanan panjang itu berakhir dengan penegasan bahwa aku tak mungkin bersamanya lagi. Sebuah penegasan yang mahal, karena seluruh tabunganku habis untuk membiayai perjalanan brengsek itu. Sementara kamu baru berpisah enam bulan dengan pasangan yang membuatmu pernah sangat terobsesi, sehingga ketika kamu berpisah darinya kamu ingin membunuhnya, yang membuatmu berurusan dengan psikiater dungu. Ah, muskil sekali ya hidup ini. Kita dipertemukan sebagai dua orang yang baru saja lepas dari hal-hal buruk, yang membuat masing-masing kita nampak sebagai orang aneh.

Tapi, sejak bercakap denganmu, aku berpikir bahwa perjalanan mahalku bukanlah untuk mendapatkan ketegasan soal relasiku dengan Lisa, melainkan perjalanan untuk menemukanmu. Sampiran-sampiran hidup macam itu kadang melelahkan, kupikir, karena kita tak pernah tahu dimana ujungnya, dan bahkan kita tak pernah tahu apakah sampiran-sampiran itu berkesudahan.

Memikirkan itu semua mungkin akan membuatku gila. Maka, aku jatuh cinta padamu, hari itu, karena kita bersepakat membuat segalanya jadi sederhana. Ya, sebenarnya ke-sederhana-an kita memang berbeda. Kamu berpikir rumit, namun memutuskan segalanya dengan cara sederhana. Sementara, aku berpikir sederhana, namun seringkali memutuskan segalanya dengan cara yang rumit. Satu hal yang jelas, aku memang pernah meyakini cinta yang lain, namun tak pernah seyakin kepadamu.

Aku tidak tahu apakah surat ini akan benar-benar sampai kepadamu. Kita tak bertukar nomor telepon dan alamat pagi itu. Aku juga tak pernah tahu nama belakangmu. Ya, Tuhan, kenapa kita membuat pilihan gila macam itu?

Surat ini kualamatkan ke kampusmu, sembari berharap ada seseorang yang cukup baik dan berusaha untuk membantu mencarikan dirimu. Ya, Tuhan, ini benar-benar gila. Dan aku akan menyesali jika tak pernah melakukan hal gila macam ini.

Sepertinya, aku sungguh tergila-gila padamu, Perempuan bawel yang jenaka. Aku sungguh-sungguh tergila padamu…


Jesse Wallace

Sumber: Surat-Surat Puisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...