Minggu, 11 Oktober 2015

Ketika Bang Buyung Bertemu Tan Malaka

Bukan pengacara biasa. Dia adalah saksi sekaligus pelaku sejarah di republik ini.

SUATU hari di tahun 1946, seorang lelaki berpakaian pangsi warna hitam datang ke rumah Rahmad Nasution di Yogyakarta. Rahmad memperkenalkan lelaki itu kepada anaknya, Adnan Bahrum Nasution alias Buyung, 12 tahun, sebagai “Oom” yang tak bernama, yang baru belakangan diketahuinya kalau si Oom itu bernama Tan Malaka.

Tan Malaka, kata Buyung, sering kali datang ke rumahnya, membahas persoalan politik yang tengah berkecamuk di republik saat itu. Buyung kecil ingat betul apa yang dibicarakan Tan kepada ayahnya: kritik kepada pemerintahan Sjahrir yang waktu itu dianggap terlalu lemah menghadapi Belanda.

“Kalau ada maling masuk rumahmu, usir dia keluar, kalau perlu pukul! Jangan ajak dia berunding,” kata lelaki yang akrab dipanggil Bang Buyung itu menirukan Tan Malaka.

Maling yang tak perlu diajak berunding maksud Tan Malaka adalah Belanda. Waktu itu Perdana Menteri Sjahrir, alih-alih memobilisasi perlawanan fisik terhadap Belanda, malah memilih jalan diplomasi di meja perundingan. Bagi Tan Malaka, langkah tersebut sama artinya mengajak maling berunding di dalam rumah sendiri.

Kisah itu rupanya melekat dalam kenangan Adnan Buyung. Dalam setiap kesempatan wawancara atau pun diskusi bertema sejarah, pengacara berpenampilan khas berambut perak itu kerap menuturkan cerita yang sama. Bahkan menurutnya, Tan Malaka selalu tidur sekamar dengan Adnan Buyung karena tak ada kamar lain yang bisa digunakan sebagai tempat tidur Tan kecuali kamarnya.

Sejarawan Harry Poeze memperkuat keterangan Adnan Buyung tentang mengapa Tan Malaka kerap tinggal di rumahnya. Ketika berada di Yogyakarta awal Februari 1946, Tan memang seringkali berpindah-pindah tempat, dari satu rumah pengikutnya ke rumah pengikutnya yang lain, mulai Ismail sampai Sukarni.

“Selama bulan-bulan itu ia juga selalu menginap di rumah wartawan Rachmat Nasution, sehingga anaknya – Adnan Buyung Nasution – harus memberikan kamarnya kepada seorang “oom” tak bernama,” tulis Harry Poeze dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia jilid pertama.

Dalam sebuah kesempatan lain, Adnan Buyung juga pernah berkisah tentang Tan yang tidur di kamarnya. Buyung kecil memilih tidur di bawah dan Tan tidur di ranjang. Si oom tanpa nama itu bercerita tentang banyak hal kepadanya.

“Dari situ saya tahu kalau orang ini sangat cerdas,” kenangnya dalam sebuah diskusi Tan Malaka di Cikini beberapa tahun silam.

Pelaku Sejarah – Penulis Sejarah

Selain dikenal sebagai pengacara, Adnan Buyung juga pelaku dalam beberapa episode sejarah di negeri ini. Sebagai aktivis anti-Sukarno, Buyung terpilih sebagai anggota MPRS yang menolak pertanggungjawaban Presiden Sukarno atas peristiwa G30S 1965. Karena itu pula presiden pertama Indonesia itu jatuh dari kursi kekuasaannya.

Namun menurutnya, Sukarno mendapat perlakukan tak adil karena dia hanya dituduh bersalah tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela dirinya dalam sebuah pengadilan. Pada saat itu, menurutnya, hanya dialah orang yang menyuarkan perlunya Sukarno diadili agar tuduhan kepadanya bisa dibuktikan atau tidak.

“Tapi yang harus orang tahu, dari sekian banyak anggota MPRS, cuma abang yang teriak-teriak supaya Sukarno diadili. Kenapa? Karena dengan diadili di pengadilan, kita bisa buktikan apakah dia bersalah atau tidak. Dan dia bisa membela dirinya. Itu demi keadilan, tapi nggak ada yang mendengarkan abang,” kata Buyung ketika diwawancarai Historia dua tahun silam.

Selaku praktisi di bidang hukum, Adnan Buyung juga penulis sejarah di bidang hukum. Disertasinya tentang Konstituante banyak memberikan informasi sejarah mengenai perdebatan yang terjadi di lembaga penyusun Undang-Undang Dasar tersebut.

Buyung punya teori seandainya Konsituante tidak buru-buru dibubarkan oleh Sukarno melalui Dekrit 5 Juli 1959, mungkin wajah demokrasi di Indonesia akan berbeda jalannya. Konstituante adalah lembaga yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar baru pengganti UUDS 1950.

Dalam sidang Konstituante seringkali terjadi perdebatan sengit antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan para pendukung syariat Islam. Namun lagi-lagi Buyung pernah berkisah betapa pun kerasnya perdebatan tersebut, di luar sidang para politikus bisa cair dalam pergaulan pribadinya. Seperti yang terjadi antara Natsir dengan Aidit.

“Abang pernah wawancarai Pak Natsir untuk disertasi abang. Pak Natsir cerita waktu istirahat sidang, Aidit tiba-tiba datang bawa dua gelas teh. Sambil duduk, Aidit bertanya pada Natsir, bagaimana kabarnya umi? (istri Natsir-Red)” tutur Buyung mengisahkan bagaimana suasana kekeluargaan terjalin antara para politikus yang berbeda ideologi saat itu.

Kontroversi

Bukan tokoh jika hidupnya tak diliputi kontroversi. Keputusan Buyung membela anggota kepolisian yang terlibat penembakan mahasiswa Trisakti 1998 yang lampau menjadi bulan-bulanan kritik banyak aktivis HAM. Tak berhenti di sana, keputusannya membela terpidana koruptor Chaeri Wardana alias Wawan suami Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany dan juga adik kandung mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah menuai banyak kritik.

Adnan Buyung selalu punya argumen bahwa setiap orang punya hak untuk membela diri dan sebagai seorang pengacara dia tak bisa menolak orang yang meminta bantuan untuk dibela. “Sebagai pengacara profesional saya tidak punya alasan untuk menolak orang yang meminta bantuan hukum,” katanya ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang keputusannya menjadi pengacara mafia pajak Gayus Tambunan.

Pengacara gaek yang kisah hidupnya berwarna-warni itu kini telah tiada. Wafat pada usia 81 tahun, 23 September 2015 kemarin setelah sempat dirawat selama beberapa hari di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Selamat jalan, bang...

Sumber: Historia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...